Oh, hai lagi, deh ya!:D Jadi, sebenernya tuh gue mau ngegabungin post-an ini sama cerita sebelumnya. Tapi, rasa-rasanya terlalu panjang. Dibagi menjadi dua aja udah panjang banget, apalagi disatuin. Maka, untuk membuat kalian nyaman membacanya, dan jadi gak bosen, gue pisah aja deh, dan dengan sedikit lebih spesial, because I wrote this with Evan's point of view, but don't judge me, this is my first time writing a man's. So, selamat menikmati isi kepala Evan;)
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Saturday, November 16, 2013
Sometimes, Love Isn't Enough (2)
Well, hai.. jadi kali ini gue mau nerusin cerita dari Evan sama Alice, I rarely doing this, karena biasanya gue biarkan saja cerita pendek yang udah gue post akhirnya ngegantung. But this one is really different. Cerita ini membuat gue jatuh cinta setiap selesai menuliskannya, sosok Evan membuat gue ketagihan untuk menulis tentang dia lagi dan lagi. Dan gue berharap, kalian yang membaca juga merasakan hal yang sama saat membaca cerita ini.
Dan, selalu gue bilang, gue masih amatir dalam menulis. Gue masih belajar. Dan mohon maaf jika banyak hal yang kurang sesuai atau masuk akal. I hope you guys enjoying this as much as I enjoyed write this.
Yang belum baca Part 1-nya, silahkan klik disini. Selamat Membaca! xD
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Dan, selalu gue bilang, gue masih amatir dalam menulis. Gue masih belajar. Dan mohon maaf jika banyak hal yang kurang sesuai atau masuk akal. I hope you guys enjoying this as much as I enjoyed write this.
Yang belum baca Part 1-nya, silahkan klik disini. Selamat Membaca! xD
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sunday, October 13, 2013
A Very Late Sorry
Masihkah kamu menjadi si kepala batu yang sangat sulit untuk
ditentang? Otakku masih menyimpan dirimu sebaga sosok itu, sosok yang sangat
keras kepala, sosok yang tidak mudah melepaskan apa yang kau cintai, termasuk
aku, saat itu. Mengingat hal itu bagaikan mengerjakan soal matematika 1
ditambah 1, sangat mudah hingga tidak memerlukan banyak energi untuk
mengingatnya, aku ingat sekali, saat kau dengan kerasnya ingin mempertahankanku
walau aku sudah berkali-kali memakimu untuk pergi. Namun, seberapa kalipun aku
mengucapkan kalimat menyakitkan untukmu, nyatanya kau tetap menampakkan wajahmu
kembali di pintu rumahku, dan kembali mengatakan bahwa kau masih mengingikan
aku berada disisimu. Kau marah saat aku menentang keputusan itu, saat aku
memilih untuk mengakhiri segalanya. Kau egois saat itu, karena kau tidak mau
kehilangan aku, namun juga tak bisa memilih antara aku atau perempuan itu. Kau
tetap mempertahankanku walau tahu pada akhirnya takdir akan membuat kita
berpisah, namun kau tidak peduli, kau tetap memelukku, mencegah aku untuk
pergi, hingga saat itu tiba.
Hari di mana segalanya hancur dan berubah..
Sifat kepala batumu hilang, begitu pula dengan ego mu yang
keras. Saat itu mungkin kau terlalu lelah, atau aku yang begitu melewati batas?
Kau tidak lagi menahanku pergi, kau hanya berdiri dengan raut wajah yang pilu
dan tatapan kosong saat aku meminta untuk mengakhiri cerita kita. Kau tidak
lagi memaki untuk membuatku tetap berdiri di depanmu, pun dengan berkata lembut
agar aku tak melangkah pergi. Kau tidak berkata apa-apa, kau hanya mematung,
dan merelakan aku pergi saat itu, dengan hati yang hancur dan tatapan penuh
luka.
Rasanya ingin aku mengulang saat itu dan memperbaiki
segalanya. Seandainya saat itu aku mengalah dan mau menerima, mungkin saat ini
aku akan menulis kisah bahagia kita, bukan menulis cerita perpisahan yang
menyakitkan ini. Seharusnya saat itu aku tidak egois, aku hanya mengingkan
diriku bahagia saat itu, tanpa memikirkan sakit yang akan berada di hatimu
nanti. Ku pikir aku akan bahagia.. namun nyatanya, keegoisanku menghancurkan
segalanya, dan melukai diriku sendiri dan seseorang yang aku cintai.
Namun segalanya sudah terlambat, bukan? Perpisahan itu sudah
terjadi, dan luka itu sudah berada di hati kita masing-masing. Dan nyatanya, aku
tidak bisa memperbaiki kerusakan itu, pecahan kacanya terlalu banyak, dan aku
tidak bisa memperbaikinya, karena menginjak kembali pecahan kaca saat itu hanya
akan membunuh diriku saat ini. Aku tidak ingin terluka lebih dalam lagi.
Cukuplah kepergianmu yang membuat hatiku mati, jangan sampai kenangan masa lalu
menyeretku dan menewaskanku juga.
Aku selalu berfikir, apa yang akan terjadi jika keegoisanku
dan dirimu saat itu tidak saling menginginkan menjadi pemenang. Jika saja saat
itu aku dan kamu bisa saling menahan ego, mungkin saat ini kita akan melakukan
rutinitas yang dulu sering kita lakukan; bercengkrama hingga insomnia mulai
memudar. Aku rindu saat itu, dan aku ingin kembali pada masa itu, masa di mana
kamu masih menjadi orang pertama yang selalu aku butuhkan saat insomnia
menyerang. Namun nyatanya, saat malam ini insomnia datang kembali, kamu tidak
lagi menjadi orang yang bisa aku andalkan, karena memang kamu tidak lagi berada
disini, kamu bukan lagi seseorang itu. Sekarang kamu hanyalah bayangan hitam
yang selalu mengendap-endap masuk ke dalam ruang otakku, dan menyadarkanku akan
segala hal menyakitkan dulu. Karena sekarang tidak ada lagi kamu. Tidak ada
lagi kamu yang akan menemaniku hingga larut malam, dan tidak ada lagi kamu yang
mencintaiku seperti dulu. Aku sudah merusak segalanya, aku mematikan dirimu
yang seperti itu dengan egoku yang menghancurkan seluruh keping dihatimu.
Aku pikir, aku akan baik-baik saja saat aku harus kehilangan
seseorang seperti sebelum-sebelumnya. Tapi ternyata aku salah, semua itu tidak
berlaku bagi kamu. Your emptiness makes me hardly to breath. Aku pikir aku
sudah terbiasa dengan kata perpisahan, tapi saat aku harus berhadapan dengan
perginya dirimu, aku merasakan luka yang amat menyakitkan tepat di dasar
hatiku. Sebelumnya, saat aku harus mengakhiri cerita dengan laki-laki sebelum
kamu, aku tidak pernah meneteskan air mata semili-pun, aku tidak pernah mencoba
untuk menghilangkan bayangan tentang mereka, karena memang mereka sama sekali
tidak pernah berada dalam hidupku, mereka tidak benar-benar aku cintai. Ku
pikir kasusmu juga akan sama seperti mereka, aku tidak perlu khawatir akan
kepergianmu, atau akan menangis semalaman karena tidak sanggup kau tinggal
pergi, lalu dengan mudahnya aku melupakan dan mencari yang baru, dan tanpa
harus meraskan sakit karena kehilangan, namun yang terjadi saat ini, malah
bertolak belakang. You are not as same as them, you are different. Aku memang
tidak menangis semalaman karena kepergianmu, namun menangisi ketiadaanmu hingga
detik ini. Dan melupakanmu ternyata tidak semudah seperti yang kupikirkan,
malah aku hingga tidak sanggup untuk bernafas saat kepergianmu saat itu, dan
aku harus menanggung luka yang begitu perih saat harus menyadari bahwa kehadiranmu
memang sudah tidak lagi ada. Dan sejak kepergianmu, hidup dan duniaku berubah.
Aku bukan lagi aku yang dulu sejak kau tinggal pergi.
Aku tidak utuh lagi tanpa kamu. Aku kehilangan diriku
sendiri sejak kepergianmu. Duniaku berubah seiring dengan bukan kamu lagi yang
menjadi pusat duniaku. Hatiku berubah menjadi kepingan yang menyedihkan sejak
kau tinggal pergi. Kau merampas dan membawa pergi semangatku dan kebahagianku.
Dan ketiadanmu benar-benar membunuhku.
Sometimes I wonder.. why do we have to hurt each other? Why
do we hurt someone we love? Why don’t we just sit and having a great talk and
staring on each other with love in our eyes? Why should our ego ruins
everything we had?
You hurt me. And I hurt you more. Seandainya ego kita tak
sebesar itu, mungkin saat ini tidak akan luka di hati kita masing-masing.
Kenapa kita tidak bisa saja saling mencintai tanpa menimbulkan luka?
Ingin rasanya saat itu aku menahanmu untuk pergi, dan
meminta maaf atas perkataan yang aku yakin begitu menyakiti hatimu. Ingin
rasanya saat itu aku menyuruhmu untuk tetap tinggal dan tidak meninggalkanku,
but then I remember.. You didn’t leave me here, I’m the one who let you go.
Jadi, maafkanlah aku karena itu. Bukan kamu yang mengacaukan
alur cerita kita yang seharusnya bahagia, I’m the one who ruin that. Aku yang
menancapkan pisau itu di tengah-tengah paragraf bahagia cerita kita, aku yang
membunuh sosok kita. And here I’m telling you.. a very late sorry.
Apa yang harus kulakukan untuk membuatmu kembali? Tidak
cukupkah perasaan berasalah yang menggerogoti dasar hatiku ini membawamu
kembali pulang? Pasti tidak, ya? Karena aku tahu, luka yang ku torehkan di
hatimu begitu mematikan, hingga rasanya berjuta kata maaf pun tidak bisa
menyembuhkan.
Orang-orang menganggap bahwa akulah satu-satunya orang yang
tersakiti di cerita ini, tanpa mereka mengetahui cerita yang sebenarnya, karena
memang aku tak sanggup untuk menceritakan kisah pilu itu, aku tak ingin kembali
pada saat-saat harus benar-benar kehilangan dirimu. Karena itu semua terlalu
menyakitkan. Mereka hanya tahu bahwa kau
yang menyakitiku, dan kau lah pelaku utama atas terjadinya kepingan-kepingan
luka di hatiku. Karena saat itu aku marah dan membenci dirimu yang terlalu
egois ingin mendapatkan segalanya, aku marah karena kemudian dengan mudahnya
kau pergi seolah tidak pernah ada cerita di antara kita. Kau melangkahkan kaki
tanpa pernah menengokku yang terluka, kau tidak pernah mengabari atau meminta
maaf atas segala hal yang telah kau perbuat. Kau pergi begitu saja saat itu,
dengan pisau yang kau tancapkan di hatiku, dan tanpa niat untuk mencabutnya
sama sekali.
Tapi, saat itu, aku melupakan bagian tentang kesalahan
diriku sendiri. Aku terlalu menyalahkanmu hingga aku lupa bahwa akulah yang
begitu egois karena ingin memilikimu seutuhnya. Aku melupakan bagian malam itu,
saat aku berteriak marah dan menyuruhmu untuk pergi dan enyah dari hidupku, aku
lupa akan aku yang memintamu untuk mengakhiri cerita kita, dan malah aku yang
menyalahkanmu saat ini, seolah-olah kamulah yang benar-benar meninggalkanku.
Bukan kau yang meninggalkanku, aku yang menyuruhmu pergi, dan wajar saja jika
kau tak pernah mengabariku dan menengok lukaku, karena aku yang tidak menahanmu
saat kepergianmu tiba, aku malah memilih tidur dan berharap lukaku akan sembuh
dengan sendirinya tanpa menyadari bahwa kau disana pun terluka. Dan wajar saja
bila kau tak pernah meminta maaf atas luka yang kau torehkan, karena kau memang
tak bersalah. Karena akulah orang yang menorehkan luka itu sendiri.
I’m sorry for blaming everything on you. If i can turn back
the time, I swear I will never let you go..
But, i guess, it was too late. You already left, and I can’t
do anything just to make you stay.
Semoga kamu menemukan perempuan yang lebih baik lagi, yang
tidak akan pernah mematahkan hatimu karena keegoisannya, dan yang akan
melakukan segala hal hanya untuk membuatmu tetap tinggal.
12 Oktober 2013,
sedang insomnia, dan berharap aku bisa menekan nomor mu di keypadku lagi.
P.S: Maaf untuk keterlambatan tulisan ini, tugas
benar-benar menyita waktu dan hidupku. Namun tetap saja, sesibuk apapun aku
saat ini, kamu akan selalu menjadi seseorang yang selalu aku fikirkan sesaat
sebelum tidur, seseorang yang selamanya masih akan kuinginkan. Well, I’m not going to say too much, I’m just so sorry. I’m
sorry for everything I have done, I’m sorry for blaming you, and I’m sorry for
hurting you. I'm sorry for thinking that I can live without you.
Saturday, September 14, 2013
It was a mistake
You know
you're grateful enough, when everything you want is in your hand.
But what
will you do, when suddenly it just disappears? And you can't try to keep it,
because it already broke into pieces.
That's what
I felt, when I saw a man whom I loved right in front of me.
But, kissed
another girl.
Thursday, September 5, 2013
lag-lagi merindukanmu
Apa yang harus kutulis untuk mengawali segalanya? Sapaan hai
atau pertanyaan apa kabar? Klise sekali rasanya, menyapa dan menanyakan
sesorang yang tak apa pernah menjawabnya, apa gunanya?
Lantas apa yang harus kutulis?
Aku merindukanmu?
Nah, kalau itu rasanya terlalu mencurahkan isi hati sekali,
ya? No, no, no, just forget it. Aku ralat,
anggap saja aku tak pernah mengatakan itu sebelumnya. Karena, lebih baik aku
menanyakan apa kabar yang tidak akan dijawab daripada menyatakan kata rindu
yang akan diabaikan.
Jadi, baiklah, aku tidak akan mengatakan apa-apa untuk
mengawalinya.
Setiap orang yang membaca surat-surat untukmu (yang tak
pernah terbaca) selalu bertanya kepadaku, kenapa aku tetap menulis untuk
seseorang yang tak akan pernah membacanya?
Aku hanya tersenyum simpul dan menjawab, karena ini caraku
untuk memerdekakan rindu, dan mendamaikan hati. Karena lewat tulisanlah aku
mengungkapkan isi hatiku, mencurahkan rindu yang tak akan terbalas untukmu. Karena
setiap bayangan menyakitkan tentang dirimu, hanya kata-lah yang dapat
menenangkanku. Karena lewat kata-lah, aku memerdekakan rindu, membuatnya terbebas, tanpa dibayangi oleh rasa sesak.
Aku akan terus menulis, menulis, dan menulis setiap kata
saat dada ini sesak dipenuhi luka yang engkau torehkan. Kata-lah obat
penyembuhku. Maka dari itu, aku selalu menulis kata, agar hati ini tak terlalu
perih saat mengenangmu.
Jadi, aku mohon, jangan pernah menyuruhku untuk berhenti
menulis segala tentang kamu disini, ya? Karena berhenti menulis sama sulitnya
seperti berhenti mencintaimu.
Aku ragu bisa melakukan keduanya. Karena keduanya, tulisan
dan dirimu, akan selalu berjalan bersisian. Kau bagaikan inspirasi dari segala
tulisanku, mungkin jika kau tidak pernah datang dalam hidupku, dan
menghancurkan hatiku, tulisan-tulisan sedih ini tidak akan pernah ada.
Lalu, apa yang lebih baik? Kedatanganmu yang menorehkan luka
dihatiku juga memberiku inpirasi untuk menulis, atau ketiadaanmu yang akan
membuat hatiku sehat-sehat saja namun membuat tulisan-tulisanku pun tiada.
Aku tidak tahu mana yang lebih baik. Tapi marilah bersyukur,
karena berkat kau dan pisau yang kau tancapkan dihatiku, aku mendapat inpirasi
untuk menulis. Jadi, terimakasih untuk hal itu.
Dan seketika, setelah menulisakan ucapan terimakasih itu,
aku datap mendengar suara tawa mengejek dari boneka-boneka di atas kasurku.
Mereka bilang, aku bodoh karena mengucapkan terimakasih pada
seseorang yang sudah mengacak-ngacak hatiku.
And, yes, they’re right.
Dan aku juga ingat kau sering bilang begitu padaku, akibat
keteledoran yang kulakukan, namun setelahnya kau akan memelukku, dan berkata “jangan
teledor lagi ya.” setelah kau membereskan segala kekacauan yang telah
kuperbuat, tanpa caci maki dan kalimat-kalimat kasar. Kau hanya akan berkata 4
kata itu saja, lalu mencoba mengembalikan moodku karena aku terlalu merasa
bersalah, dan lagi-lagi, kalimat yang keluar dari bibirmu itu menenangkan, kau
bilang, “aku suka kok jadi orang yang selalu ngeberesin masalah yang kamu
bikin, itu bikin kamu gak akan bisa lepas sama aku. Iya kan?” lalu kau
tersenyum, dan kita akan tertawa bersama, melupakan hal buruk yang terjadi
beberapa jam lalu.
Dan kau benar, aku akan selalu terikat dengan kehadiranmu,
selamanya tidak bisa lepas dari bayangmu. Hingga saat ini.
Kau benar sekali waktu
itu, tapi saat itu, aku tak pernah membayangkan akan sesakit ini rasanya.
Dan beginilah takdir untukku akhirnya, kau pergi, dan aku
masih tak bisa lepas dari bayanganmu. Kau
sehat-sehat saja, dan aku terus mencoba mengobati luka dihatiku dengan kata
yang kutulis -yang jelas-jelas tidak akan ada di resep dokter- kau bahagia
akhirnya, dan aku meringis menahan perih tepat didasar hatiku, lalu akan
meneteskan air mata saat aku tak kuasa lagi menahannya.
Kenapa Tuhan harus mempertemukanku dengan seseorang yang
akhirnya hanya akan membuatku menangis?
Kenapa Tuhan harus mempertemukan kita saat itu, jika pada
akhirnya kau akan pergi, dan meninggalkanku dengan membawa hati, semangat, dan
jiwaku, lalu membiarkan aku berperang dengan rasa sakit sendirian?
Aku ingat saat itu, saat aku terisak kencang, kau datang
tepat saat aku tak kuasa berdiri, lalu dengan senyuman manis yang kau punya,
kau menyeka air mataku yang entah keberapa kali sudah terjatuh, lalu memelukku,
dan berbisik bahwa segalanya akan baik-baik saja.
Namun itu dulu, sebelum kau pergi, dan masih menjadi
milikku. Lalu kenyataannya hari ini? Bertolak belakang, kau sudah pergi dan
bukan milikku lagi.
Ouch. Hatiku tiba-tiba menjerit kesakitan saat mendengar
bagian terakhir yang tadi kukatakan, lalu sakitnya beruntun pada kedua mataku
yang tiba-tiba menteskan air mata.
Seandainya masih ada sosokmu disini, mungkin keadaanya tidak
akan semenyakitkan ini, tidak akan ada hatiku yang terluka, dan tidak akan ada
air mata yang jatuh setiap malam akibat terlalu merindukanmu yang telah pergi.
Mengenangmu seperti membuka lembar demi lembar cerita yang menyakitkan.
Ujung-ujungnya hanya akan membuatku menangis dan merobek luka di hatiku semakin
dalam.
Namun, otak ini tak akan pernah berhenti memutar segala hal
tentangmu, begitupun dengan hati ini, yang tak akan pernah berhenti
mencintaimu.
Terkadang, aku berharap aku mengidap amnesia, agar aku dapat
mengenyahkan segala kenangan yang terus menerus menggerogoti hatiku.
Aku ingin sekali bersikap egois, dengan menahanmu disini. Atau
menjadi orang jahat, dengan berharap bahwa kau akan mengalami pedih yang aku
rasakan.
Tapi aku tidak bisa mengucapkan kata amin setelahnya, karena
walau kau telah menyakiti aku sebegitu parahnya, dan meninggalkanku tanpa
ucapan selamat tinggal, lalu hanya memberiku luka pada akhirnya, aku akan tetap
berterimakasih karena kau pernah singgah disini, walalu hanya untuk menorehkan
luka dan pergi pada akhirnya..
Aku akan selalu mengirimmu doa agar bahagia selalu berada disisimu.
5 September 2013, dan
lagi-lagi merindukanmu.
P.S: Handphone-ku hilang tepat pada sore ini, dengan segala
draft novel perdanaku yang belum aku copy ke media lain. Sedih rasanya, kedua
hal yang menjadi penyemangatku hilang, kau, dan tulisan itu. Apa ini maksud
Tuhan agar kau dan aku tak akan pernah bisa berhubungan lagi? Atau mungkin ini
cara Tuhan agar membuatku lupa pada dirimu? Karena kau tahu, di dalam handphone
itu, segalanya tertuju padamu, handphone itu merekam manis dan pahitnya cerita
kita, handphone itu menjadi saksi kebahagianku, juga saksi patah hatiku setelah
kau tinggal pergi. Foto-foto bodoh kita, video tolol saat kita sok meng-cover
lagu, dan pesan singkat sejak awal hingga semuanya hancur masih tersimpan rapi
di memori handphone itu. Dan juga banyak sekali tulisan di Notepad yang menjadi
pelampiasanku saat luka dihatiku terobek kembali karena ingatan tentang dirimu
yang tiba-tiba muncul. Dan sekarang, aku harus kehilangan itu semua, sama
seperti aku harus kehilanganmu. Apa kehilangan memang takdir setiap manusia
didunia ini? Namun, walaupun handphone dan segala saksi tentang cerita kita
sudah lenyap, bayanganmu akan selalu menempati ruang di otakku, juga namamu
yang akan selalu terukir di hatiku. Dan, kamu, berhati-hatilah, supaya
kehilangan tidak tahu keberadaanmu. Berbahagialah selalu, kepala batu.
Saturday, August 31, 2013
It's Always About You
"Mau?" Ujar lelaki bermata coklat yang sekarang
sedang berdiri didepanku, tersenyum sambil menawariku sebuah es krim
kesukaanku.
"No, thanks." Jawabku kurang antusias, baru kali
ini aku menolak tawaran es krim vanilla yang selalu sukses membuat seluruh bagian
di dalam mulutku menginginkannya.
Dia ikut duduk di sebelahku, dan menatapku dengan tatapan,
"are you serious?", dan tersenyum menantang,
"Oh, come on.. Just forget that fuckin' thing, and
enjoy this." Ujarnya sambil menyendoki es krim vanilla ke dalam mulutnya,
seolah belum puas membuat aku menelan air liurku sendiri, dia menjilat rasa
vanilla yang tersisa di sendoknya.
Dapat kurasakan teriakan dari dalam kerongkonganku saat
mencium aroma es krim vanilla ini. Aku hanya menelan ludah, dan menatap laki-laki
di depanku dengan tatapan lapar; lapar karena menginginkan yang ada di dalam
mulutnya.... Sesendok es krim vanilla.
Wednesday, August 28, 2013
Sometimes, love isn't enough.
"Hey, wake up! Wake up!" Perempuan itu mengguncang badan seorang
laki-laki dibalik selimut, menyuruhnya untuk segera bangun.
Laki-laki itu mengeram, tidak terima mimpi indahnya diganggu oleh guncangan
tangan-oleh siapapun itu-, lalu menarik selimutnya lebih atas, dan terpejam
kembali.
Tapi perempuan itu tidak menyerah, ia terus menerus menyerang dan
mengguncang agar lelaki itu segera bangun dari tidurnya.
"Yaampun, kebo, it's almost 8 a.m. Stop dreaming! And wake up!"
Teriaknya menyerah.
"Apaan sih? It's fucking sunday." Akhirnya, laki-laki itu membuka
matanya, walau setengah sadar.
"Bangun." Jawab perempuan berwajah oval itu sambil tersenyum
manis.
"Kamu kok disini?" Kali ini matanya benar-benar terbuka sadar,
terbelaklah ia karena melihat mimpi indahnya menjadi kenyataan, berada tepat di
depan matanya.
"Did you forget I also have this?" Jawab perempuan itu sambil
mengacungkan sebuah kunci pintu apartemen. Lalu tersenyum meremehkan, oh, dan
juga tidak lupa untuk menggigit bibir bawahnya, menggoda laki-laki yang
tubuhnya masih berada ditempat tidur itu.
"Shit, yeah, right."
"Come on, wake up and go take a bath. You smell like onion." Ujar
perempuan itu mencibir.
"I didn't eat any onion last night, how can I smell like that?"
Jawabanya sambil mengerutkan dahi, dan perempuan itu langsung tertawa.
"Orang baru bangun tidur itu emang fungsi otaknya gak bekerja ya?
Udah, gih, mandi sana."
"I will if you are too." Ujarnya sambil mengedipkan mata.
Dasar laki-laki, disuruh bangun tidur, yang bangun malah apanya, belum
mandi aja sempet-sempetnya flirting gak jelas. Yeah, boys. But girls like that,
no?
Perempuan itu hanya tersenyum mencibir, menggeleng-gelengkan kepala atas
kelakuan laki-laki didepan matanya ini, kemudian tertawa karena sekurang ajar
apapun lelaki di depannya ini, namanya akan selalu mendapat ruang khusus
dihatinya.
"Too bad, but I'm already take a bath, handsome." Jawabnya,
kemudian berlalu, dengan sudut bibir yang terangkat keatas.
Dan laki-laki itu mendengus mendengar jawabannya, namun sejujurnya, hatinya
bersorak ria karena kehadiran perempuan itu menjadikan mimpi indah yang tadi
diganggunya berada jelas-jelas didepan matanya.
**
Tuesday, August 6, 2013
(masih) tentang kamu
Bagaimana keadaanmu
nun jauh di sana? Bagaimana kota yang sering kau damba-dambakan itu? Indahkah?
Menyenangkan? Selamat.. Akhirnya, kau bisa menjejakkan kakimu sendiri dikota
itu. Membayangkan senyummu yang merekah saat pertama kali menjejakkan kaki di kota
itu, rasanya ingin sekali aku berada disampingmu, berbagi senyum dan
kebahagiaan.
Bangga sekali aku mendengar berita tentang kesuksesanmu itu,
akhirnya kau tinggal beberapa langkah lagi untuk menjadikan mimpimu menjadi
kenyataan. Aku tahu, sejak awal, sejak
malam itu, saat kau berbagi impianmu padaku, aku yakin, kau pasti akan berhasil
mencapainya suatu saat kelak. Dan, Tuhan Maha Baik, Dia mengabulkannya saat
ini. Betapa aku ingin berterimakasih pada Tuhan, karena telah membuat mimpi
seseorang yang begitu berharga bagiku menjadi bukan sekedar angan-angan lagi,
karena sebentar lagi kau dapat mencapainya. Betapa aku bersyukur pada-Nya,
karena dapat menyaksikanmu begitu bahagia.
Walau disini, aku
harus menahan tangis karena kepergianmu. Tidak, seharusnya aku tak menangis,
seharusnya aku turut bahagia karena pria yang kucintai sedang menjadikan
mimpinya menjadi nyata. Namun bagaimana caranya aku bisa bahagia, saat dada ini
begitu sesak, saat tiba-tiba relung hatiku dipenuhi oleh beribu-ribu luka yang
tumbuh seiring perginya dirimu? Bagaimana caranya aku bisa bernafas lega saat
lubang-lubang menganga itu tiba-tiba datang seiringnya hilangnya kamu dari
penglihatanku?
Beritahu aku,
bagiamana caranya? Ini terlalu sulit untuk kujalani sendirian. Lukanya begitu besar
untuk ku obati seorang diri. Aku tak yakin bisa melakukan hal itu. Aku butuh
dirimu, seperti dulu.
Ingin rasanya saat itu
aku mencegahmu untuk pergi. Ingin rasanya aku berteriak menyuruhmu untuk tetap
tinggal. Ingin rasanya aku memelukmu dan tak akan melepaskan pelukan itu. Ingin
rasanya aku menahanmu untuk tetap selalu berada disini, bersamaku.
Tapi aku tidak bisa menjadi orang se-egois itu, aku tidak bisa
menahanmu untuk pergi, aku bahkan tidak berkata apa-apa, apalagi memelukmu, aku
sampai tak berani karena takut tak dapat melepasnya lagi, dan aku malah
bersembunyi dalam tidurku, memaksa diriku sendiri lupa akan jadwal kepergianmu
saat itu, membuat diriku sendiri terlelap dalam mimpi dan berharap dapat
melupakanmu sejak saat itu.. tapi hingga
saat ini pun, sejak satu bulan kepergianmu, kau masih tetap menjadi orang nomor
satu dalam pikiranku, menjadi orang nomor satu yang mengisi relung hatiku.
Kupikir, saat itu,
seiring dengan berjalannya waktu, aku dapat mengenyahkan bayanganmu dari
hidupku. Namun ternyata, bayanganmu selalu berada di bawah telapak kakiku,
mengikutiku kemanapun kakiku melangkah, dan membuat hatiku tertohok setiap aku
menengok kebawah, aku melihat bayanganmu disana.. Dan seketika itu juga,
kenangan langsung membanjiri mataku seiring dengan tersusunnya puzzle kenangan
bersama dirimu dulu.
Terkadang, saat sedang sakit-sakitnya aku karena begitu
merindukanmu, aku ingin sekali meminta Tuhan membawamu kembali padaku, tapi aku
tahu, dengan harapanku yang konyol itu, aku bisa merusak mimpimu kapan saja,
dan menghalangimu untuk bahagia.
Saat aku berfikir
seperti itu.. Aku merasa jahat sekali karena ingin menghancurkan mimpimu demi
sembuhnya luka dihatiku. Tapi apa yang bisa kulakukan? Aku tidak bisa
membiarkan dirimu menderita karena mimpimu hangus, pun aku tak bisa membiarkan
diriku menderita karena ditinggal dirimu.
Aku egois sekali, ya?
Maaf, hatiku terlalu merindukanmu. Tapi tenang saja.. semua itu hanya sebuah
harapan yang tidak akan pernah aku sebut dalam doaku, karena aku tak akan pernah
merusak kebahagianmu, walau hatiku menjerit sakit menginginkamu disini.
Namun mirisnya diriku..
I wish for someone happiness who never wish for mine. Ada satu hal yang
ingin aku tanyakan, apa pernah sebentar saja diriku terlintas dalam pikiranmu
sesering dirimu yang terlintas dalam pikiranku? Apa pernah kau menyebut namaku
dan kebahagiaan dalam satu doa? Apa pernah kau mengharapkan aku bahagia sebesar
aku mengharapkan kau bahagia?
I guess.. No. Because
you already forget me here. Aku tahu itu,
tapi aku masih saja membumbui hatiku kebohongan indah bahwa mungkin kau akan
mengingatku sesekali dalam keseharianmu, sama seperti apa yang aku lakukan
sejak kau tinggal pergi begitu saja.
Seharusnya aku
berhenti menulis surat yang tak akan pernah kau baca ini. Seharusnya aku
menghentikan jemariku untuk menghidupkan kata-kata untukmu. Seharusnya aku
benturkan kepalaku, agar aku lupa akan dirimu. Seharusnya juga aku maki hatiku
agar berhenti menulis namamu disana. Dan seharusnya aku menghentikan cerita
satu arah ini. Seharusnya aku tancapkan saja pisau pada paragraf yang ingin aku
tulis! Agar semuanya berhenti, agar semuanya berakhir, agar tak ada lagi kita
dalam bayanganku, agar tak ada lagi aku yang terluka.
Namun, pisau itu tidak
aku tancapkan pada paragraf tentang kita, aku malah menancapkannya pada hatiku
yang sudah terluka.
Aku mungkin bisa
menghentikan jemariku menulis semua tentang dirimu, tapi aku tak mungkin bisa
menghentikan hatiku untuk tetap mencintaimu, pun menyingkirkan segala kenangan
tentang mu dari ruang otakku.
Pernah sesekali aku berdoa pada Tuhan agar kau merasakan sesakit
apa rasanya saat kau harus berurusan dengan kata kehilangan, namun bukannya
kata amin yang kuucap kemudian, aku malah memaki kebodohanku, dan berharap
Tuhan saat itu sedang sibuk sehingga tidak mendengar doa bodohku tadi, lantas
ku ganti doa itu agar kau selalu bahagia, dan semoga kehilangan tak pernah
mengendus keberadaanmu.
Karena.. aku tak bisa
membayangkan, dan tak ingin membayangkan, jika harus melihatmu seperti apa yang
aku lihat setiap hari dicermin kamarku, hancur, berantakan, dan begitu
menyedihkan.
Maka, sekali lagi, aku
berdoa pada Tuhan agar bahagia selalu mengiringi hidupmu.
Dan, aku berdoa pada
Tuhan, agar sosok dalam cermin kamarku itu diberi kekuatan dan kesabaran untuk
mengobati lukanya seorang diri.
Sudah pukul 1 pagi,
hari sudah berganti, dan jarum jam seolah-olah memelototiku untuk segera
terpejam. Maka, inilah akhir surat yang bukan surat terakhirku untukmu, mungkin
masih akan ada surat-surat lain, yang akan kutulis jika aku merindukanmu
kembali.
Dan.. Kuakhiri surat
ini dengan tetesan terakhir air dari mataku. Selamat malam, semoga kau bisa
merasakan doa yang kupanjatkan segera menjadi kenyataan.
6 agustus 2013, pukul 1 pagi, dan segalanya masih tentang kamu.
P.S: kudengar di
kotamu pada bulan Oktober nanti suhu dingin diperkirakan akan menginjak 16
derajat Celcius. Aku tahu itu masih 2 bulan yang akan datang. Tapi
khawatir aku tak dapat mengingatkanmu lagi, maka ku ingatkan saja sekarang. Jangan
lupa untuk menggunakan jaket yang pernah ku berikan untuk kado ulangtahunmu
dulu, ya? Itupun jika kau masih
menyimpannya. Jika tidak, ya kau pakailah pakaian yang dapat membuatmu hangat.
Aku tak ingin mendengar kabar buruk tentangmu karena menggigil hebat atau hal
semacamnya. Karena tak akan ada lagi pelukanku yang dapat menghangatkanmu,
walau begitu, aku akan selalu menghantarkan doa agar menjagamu selalu sehat.
Aku disini amat merindukanmu. Cepatlah kau capai dan jadikan mimpimu menjadi
benar-benar nyata. Dan jaga dirimu baik-baik, kepala batu. Te amo.
Subscribe to:
Posts (Atom)