Dan, selalu gue bilang, gue masih amatir dalam menulis. Gue masih belajar. Dan mohon maaf jika banyak hal yang kurang sesuai atau masuk akal. I hope you guys enjoying this as much as I enjoyed write this.
Yang belum baca Part 1-nya, silahkan klik disini. Selamat Membaca! xD
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Alice
Aku
mengerjapkan mataku untuk kesekian kalinya, mencoba menyadarkan diriku dari
tidur sore yang cukup panjang.
Kepalaku terasa berat, dan mataku seolah berkunang-kunang. Rasanya
tidur sore panjang tadi berakhir sia-sia, bukannya menjadi lebih segar, tubuh
ini malah terasa lebih lelah.
They were right, tidur di sore hari memang akan membuat tubuh
seseorang menjadi tambah letih.
But, hey wait! There are no sunshine out there...
"Puas tidurnya?" Suara berat itu benar-benar
mengagetkanku.
"Kamu sejak kapan disini?" Tanyaku terkejut, tiba-tiba
saja seluruh rasa kantuk tadi langsung menghilang seiring tersadarnya diriku
atas kehadirannya.
Aku hanya memandang tubuhnya yang bersandar pada dinding dekat
tempat tidur.
Wait, what? Tempat tidur? I thought I was sleeping in the couch...
Rasanya tidak mungkin kan aku berjalan ke kamar tidur sendirian?
Seingatku saat itu aku sedang menemaninya menonton film dokumenter National
Graphic, and, umm.. It was kinda boring, and suddenly I fell asleep.
And then, waking up in this bed.
"10 menit sebelum kamu bangun mungkin. So I was wasting my
time just for staring at you who fall asleep." Jawabnya santai, dengan
matanya yang langsung menatap mataku.
"Umm.. Okay. Dan, umm.. Kok aku bisa ada disini? I mean, umm,
seingatku aku ketiduran pas lagi nonton." Jelasku terbata-bata. Shit,
tatapan matanya benar-benar menghisap seluruh indra dalam tubuhku.
"Correct that, nemenin aku nonton." Hanya itu jawabannya, dan dengan senyuman miring andalannya.
Aku hanya menggaruk tengkuk belakang, dan
memandangnya dengan salah tingkah. Dia hanya memandangku sebentar, kemudian
tersenyum bangga. Sialan.
"Kamu beneran enteng banget, ya. You look skinnier than before,
Al. So, please, eat more." Ujarnya tiba-tiba, out of topic.
Aku hanya memandangnya bingung. Okay, yes, I know. I'm too skinny,
tapi beneran deh, he is really out of topic now. Gak nyambung banget.
"Tadi aku gendong kamu kesini pas kamu ketiduran." Ujarnya
selolah tau isi pikiranku. Kenapa sih laki-laki didepanku ini senang sekali
ngomong tiba-tiba dan bikin kecerdasan seseorang menurun drastis? Aku hanya
bisa terbengong setiap mendengar ucapannya yang tiba-tiba. Otakku tiba-tiba
berubah menjadi lambat untuk mencerna dan berfikir.
"Oh, iya, ya? Maaf deh ngerepotin. Thanks anyway."
Jawabku sambil menggaruk tengkuk. Kecenderungan yang sering aku lakukan jika
dalam situasi bingung dan tidak tahu harus berkata apa.
Dia hanya menyunggingkan senyum, dan membelai pucuk kepalaku
"you don't have to."
Senyumnya membuat otakku tiba-tiba membeku dan membuatku semakin
kehilangan kata-kata.
Seharusnya aku marah karena dengan asal dia menggendongku begitu
saja, dan siapa tau dia melakukan hal yang tidak aku ketahui saat aku terpejam.
Iya kan? Bisa saja itu terjadi tapi sepengetahuanku. Seharusnya aku memakinya
dan mengintrogasinya saat ini juga.
But, I have no words. Senyum dan belaian tangannya tadi benar-benar
membuatku tertegun.
Aku mencoba merapihkan rambut panjangku yang aku yakin sudah tidak
berbentuk. Mencoba untuk melakukan suatu hal untuk meminimalisir debaran di
dada.
"Don't try to fix anything, babe, you look prettier and a
little bit sexy when you're just awake." Ujarnya sambil tersenyum
seolah-olah tahu apa yang sedang terlintas dipikiranku. Yeah, he was right, I'm
a little bit afraid of being ugly in front of someone whom I loved so.
But, it's normal, isn't it? Every girls will do that too, I bet.
Namun, tidak bisa kupungkiri, pipiku terasa memanas dan hatiku berdebar
lebih kencang mendengar ucapannya, apalagi ditambah dengan tatapan matanya yang
seolah-olah menembus langsung kedalam jiwaku.
"Heran, deh. Orang baru bangun tidur aja sempet-sempetnya kamu
gombalin." Jawabku sambil mengejeknya. Sebenernya itu caraku untuk
menenangkan jantung ini yang berdetak begitu hebatnya. Caraku untuk
bersembunyi, agar dia tidak mendengar suara debaran ini dan tidak menyadari
pipiku yang semakin merona.
Dia hanya tertawa, sambil geleng-geleng kepala. Damn.. His
laugh.... I just feel my heart beats faster and faster.
"Handphone kamu daritadi bunyi nih, ganggu orang yang lagi
asik-asik nonton tv aja." Ujarnya setelah selesai tertawa, sambil
memberiku handphone yang tadi aku tinggalkan saat menonton tv.
Aku hanya menerima uluran tangannyanya, dan mengecek 12 panggilan
tidak terjawab.
"That bastard, eh?" Tanyanya dengan nada sinis.
"He was calling you every minutes. Tadinya aku mau ngangkat,
eh keburu dia tutup. Bagus deh, seenggaknya dia gak akan kena serangan jantung
hari ini karena ngedenger suara laki-laki dari handphone kamu." Lanjutnya
kemudian, masih dengan nada sinis di setiap kata yang ia keluarkan.
I'm glad that he didn’t answer the phone. I can't even
imagine what will happen if he really doing what he just said.
"Van, udah deh ah, sinis banget. All that matter is, I'm yours
today. Totally yours." Jawabku semanis mungkin, sambil mendekatkan diriku
pada tubuhnya, dan bersandar pada dada bidangnya.
"I wish you were mine forever.. Not just for today."
Ujarnya sambil membelai lembut rambutku.
Ada luka yang tersirat di balik suaranya, aku bisa merasakan itu
semua... Karena suaru itupun sering aku dengar setiap hari, berasal dari rongga
mulutku sendiri.
Handphoneku kembali berbunyi dan aku bersyukur, karena setidaknya
ada hal yang dapat mengalihkan pikiranku agar tak meneteskan air mata.
"Iya, Ma?" Jawabku setelah menekan tombol hijau di keypad
handphone.
Evan melepaskan pelukannya dan menatapku lekat-lekat, seolah-olah
tidak ingin kehilangan satu momen pun tentang diriku.
"Iyaa, ini aku masih dirumah temen." Ujarku berbohong. It
is allowed for white lie, isn't it?
Mata Evan seolah-olah mengejekku, dan menertawaiku dengan segala
kebohongan yang aku utarakan.
"Astaga! Sorry mom, I forgot! Huu-uh, yes, okay, mom. Iyaa, I
will be there in thirty minutes." Ujarku mengakhiri pembicaraan.
Evan hanya menatapku dengan tatapan bertanya.
"Aku lupa hari ini ada janji makan malam di rumah. Papah baru
aja dateng dari Medan setelah satu minggu." Jawabku sebelum dia bertanya.
"So, you have to leave right now?" Tanyanya, dengan
lagi-lagi, tatapan yang penuh luka.
Sejujurnya, aku tidak mau pergi sekarang. Hatiku masih ingin
merasakan kehadirannya dan menghabiskan waktu yang tak akan datang kembali
untuk bersamanya. Aku masih ingin berada disini, berdua, bersamanya.
"Gimana kalau kamu ikut ke rumah?" Tanyaku sambil
mendekap lengannya. Dan benar saja, dia pasti akan menggeleng, dan menolak
penawaranku.
"Ayolah, Van. Udah lama juga kan kamu gak ketemu Mamah dan
Papah? Apa sulitnya sih?" Aku mencoba merayunya lagi, semanis mungkin.
Evan melepaskan dekapan tanganku, dan membelai kedua pipiku sambil
berkata,
"Sulit, Al, kalau keadaannya kayak gini, aku mana kuat
pura-pura di depan mereka, seolah semuanya baik-baik aja."
Kemudian aku terdiam mendengar jawabannya. Mata kami hanya bertemu
pandang, tanpa ada kata yang keluar, hanya menyiratkan luka di mata
masing-masing, yang lukanya terpendam jauh di dasar hati satu sama lain.
Seandainya semuanya baik-baik saja... Seandainya keadaannya tidak
serumit ini.. Pasti semuanya tak akan sesulit ini.
"Please?" Rayuku lagi, masih belum menyerah.
Evan hanya mendesah sambil menggeleng.
Dadanya naik turun seolah menahan sesak yang begitu menyakitkan..
Aku mengenal jelas gerak gerik tubuh itu, karena begitulah yang akan kulakukan,
setiap dada ini terasa sesak dan perih.
Aku merasakan air mata yang ingin mengalir di peluk mataku. Menatap
dirinya yang penuh luka membuat diriku semakin sakit. Rasanya ingin aku
mengobati luka itu, dan membuatnya baik-baik saja.. Namun pada kenyataannya,
aku malah merobek luka itu lebih lebar lagi.
"Please, for me? Lagian masa kamu tega ngebiarin aku pulang
sendirian naik taksi?" Ujarku lagi, kembali merayunya, dan kali ini aku
berusaha tersenyum, walau segalanya terasa sulit.
Evan hanya menatapku dengan penuh luka dan menghela napas.
Aku balas menatapnya dengan tatapan mata yang amat memohon.
"Fine, then." Ujarnya akhirnya, membuat lekukan dibibirku
terlukis begitu lebarnya.
"Yeaaaay! Gitu, kek dari tadi, kayak anak kecil ajasih kamu
pake harus dirayu-rayu segala." Ujarku dengan cengiran lebar. Lalu
memposisikan diriku untuk bangun dari tempat tidur dan merapikan pakaianku.
"Kamu beneran mau pulang dengan keadaan kayak gini?"
Tanyanya, ikut berdiri disampingku.
"Iya. Kenapa?" Jawabku sambil mengerutkan dahi.
"Gak mau mandi dulu?" Tanya Evan dengan polosnya.
Aku hanya mengerutkan alis, dan memandangnya dengan tatapan
"what the hell you've just said?",
"What????! Hell no! No. I will never let myself taking bath in
your apartement, not ever."
"Lah, kenapa? Aku ada kok peralatan mandi buat
perempuan." Jawabnya masih dengan raut wajah polos.
Aku hanya menatapnya dan berdiri tepat dihadapannya sambil berkata
sebal,
"By letting you seeing me naked? No, Evan, no, thank you. I
prefer to being this mess."
Evan hanya menganga mendengar jawabanku, kemudian geleng-geleng
kepala,
"Apa? Yaampuuun, Alicia, seriously... I'm that pervert on your
fucking mind?"
Aku langsung terdiam. Oh,
jadi tidak ada makna tersirat di balik penawarannya tadi?
Fuck you, pervert mind.
"But, Al, like I never seen you naked before.. Remember?"
Ujarnya, sambil menatap mataku dengan tatapan seduktifnya, dan dengan senyuman
menggodanya..
This men.... Aku hanya memelototinya dan menatapnya sebal,
"Shut up, Evan! It was many years ago!"
Dia hanya tertawa menggodaku dan lagi-lagi senyuman maut itu
terlukis diwajahnya,
"Yeah, it was so long, huh? And I bet, there are so much
changes on what I saw many years ago." Lagi-lagi, senyuman miring itu
terlukis di bibir menggodanya, ditambah dengan kedipan matanya yang membuat
lututku terasa semakin lemas.
"Just shut up, okay? I promise my mom will arrive in thirty
minutes. Can we just leave now?" Jawabku dengan nada sesebal mungkin.
Namun, jujur saja, aku tidak mungkin bisa menyembunyikan kebahagiaan
yang sedang meluap, karena kali ini, tidak ada lagi tatapan luka di matanya,
dan raut wajah yang menahan perih dalam dirinya. Yang aku lihat hanyalah sosok
pria yang aku cintai, walau dengan otak yang super dewasanya, perkataannya yang
membuatku membeku, tatapannya yang membuatku merona, bibirnya yang membuat
lututku lemas, dan senyuman miringnya yang membuatku sebal. Tapi semua itu
membuatku lega dan bahagia, because I prefer seeing him like this.
"Yes, princess, but, can you give one kiss on this?" Ujarnya,
memulai kembali. Tersenyum menggoda dan menggigit bibir bawahnya.
"I will never do that." Jawabku sambil memutar bola mata
dan bersiap untuk melangkahkan kaki.
"So do I." Bukannya mengikuti, Evan malah mendudukkan
tubuhnya kembali ke atas kasur.
"For God's sake, Evan!" Teriakku sebal.
"Just one kiss." Ujarnya lagi, masih tak mau kalah.
"You really have a dirty mouth, eh? Just shut up and let's
go." Ujarku sambil melangkahkan kaki kembali.
Dan, yeah, I'm the winner here. Aku bisa merasakan langkahan kaki
Evan yang mengikuti dibelakangku.
**
"You
really owe me a kiss." Evan belum menyerah ternyata, dia masih saja
membicarakan hal tadi, walau mobilnya sudah parkir tepat di garasi rumahku.
"Shut up." Jawabku lagi-lagi, dan kembali meninggalkannya
dan mendahuluinya memasuki rumah.
"Serius deh Al, kalau kamu ninggal-ninggalin mulu, aku lebih
baik pulang aja." Ujarnya dengan nada sebal sesaat setelah langkahan
kakinya setara dengan langkahan kakiku.
"Terus kenapa masih ada di sini?" Tanyaku as annoying as
possible. Raut wajah Evan makin menandakan kesesalan. Well, I love him as much
as I love make him annoyed;)
Evan hanya melirikku sinis dan sebal.
"Inget umur deh, Van, gak pantes banget kamu sok ngambek
gitu." Ujuarku makin membuatnya kesal. Dalam hati aku ingin tertawa
melihat raut wajah sebal bak anak kecil di atas wajah mempesonanya itu.
Membuatnya semakin cute and adorable.
"I swear, if there were no one here, I would do bad thing to
you. Just to remind you not to be this annoying." Jawabnya masih dengan nada
sebal.
"Uh, celem." Aku menjawab ancamannya sambil tertawa.
"Sumpah ya, Al, aku ingetin aja, you will regret this
later." Evan lagi-lagi mengancamku, dan lagi-lagi aku menjawabnya dengan
raut wajah yang membuatnya semakin kesal.
Aku hanya terus menertawai sikapnya yang seperti anak kecil.
Belum sempat Evan mengeluarkan kalimat mengancam lagi, kehadiran
Mama dan Papa dari tangga atas membuatnya terdiam dan mengganti wajahnya
menjadi pura-pura menyenangkan.
Aku ikut menghentikan tawaku saat menyadari senyum paksaan yang
terlukis di wajah Evan.
"Loh ada tamu ternyata." Sapa Mama saat menyadari
kehadiran Evan disebelahku.
"Hehehe, iya nih, Tan. Tadi diajakin Alicia kesini. Kebetulan
udah lama juga gak pernah mampir." Jawab Evan seramah mungkin.
Sialan, kenapa juga dia bawa-bawa nama aku?
"Loh memangnya kalian abis pergi bareng?" Nah, ini. Papa
pasti bakal bertanya, dan aku yang harus menjawab. Artinya, dosa berbohong aku
yang menanggung. Evan hanya mendengarkan dan menahan tawa. Sialan banget kan
cowok di sebelahku ini.
"Tadi ketemu di lobby apartemen Evan, Pah. Ternyata Evan satau
apartemen dengan Dinda. Kebetulan juga kan aku lagi gak bawa mobil. Trus Evan
juga gak lagi sibuk-sibuk banget, yaudah aku ajak aja kesini. Sekalian cari
tumpangan. Hehehe." Jelasku panjang lebar. Papa hanya mengangguk, dan
kembali memusatkan perhatiannya pada cowok di sebelahku ini.
"Kamu tuh sesibuk apa sih, Van? Sampe gak pernah kesini."
Sindir Papa. membuat Evan jadi garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
"Biasa deh, Om.. Deadline sana-sini. Lembur terus tiap hari,
setiap ada waktu luang pasti ngerjain skesta. Gitulah, Om." Jawab Evan
sambil cengar-cengir.
"Tapi jangan keterusan sibuk juga, Van. Kasian juga yang jadi
pacar kamu nanti haus perhatian." Ujar Papa sambil tertawa.
Evan hanya ikut tertawa hambar, mukanya sedikit memerah seperti
mukaku. Well, I dunno.. Tiba-tiba saja aku merasa salah tingkah saat Papa
berbicara seperti itu.
Padahal aku yakin Papa pasti tidak bermaksud membicarakan tentang
'kami' berdua.
"Ngobrol dan kangen-kangenannya dilanjut di meja makan aja,
yuk. Makanannya sudah siap tuh." Ajak Mama kemudian, kalimatnya barusan
benar-benar 'menyalamatkan' aku dan Evan dari kecanggungan dan
kesalahtingkahan.
Aku mengikuti Mama dan Papa dibelakang, dengan Evan di sisiku. Kami
tanpa sengaja betukar pandang, dan sama-sama melukiskan senyuman yang
menggambarkan kelegaan di raut wajah masing-masing.
Kemudian, kami berdua saling tertawa tanpa suara, hanya mata yang
berbicara, dan saat pandangan mata Mama dan Papa ikut terlibat, kami kembali
berpura-pura, berpura-pura bahwa segalanya masih sama seperti yang lalu.
Sebelum perasaan cinta ikut terlibat.
No comments:
Post a Comment