Pages

Saturday, November 16, 2013

Sometimes, Love Isn't Enough (2)

Well, hai.. jadi kali ini gue mau nerusin cerita dari Evan sama Alice, I rarely doing this, karena biasanya gue biarkan saja cerita pendek yang udah gue post akhirnya ngegantung. But this one is really different. Cerita ini membuat gue jatuh cinta setiap selesai menuliskannya, sosok Evan membuat gue ketagihan untuk menulis tentang dia lagi dan lagi. Dan gue berharap, kalian yang membaca juga merasakan hal yang sama saat membaca cerita ini.

Dan, selalu gue bilang, gue masih amatir dalam menulis. Gue masih belajar. Dan mohon maaf jika banyak hal yang kurang sesuai atau masuk akal. I hope you guys enjoying this as much as I enjoyed write this.

Yang belum baca Part 1-nya, silahkan klik disini. Selamat Membaca! xD

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------



Alice
            Aku mengerjapkan mataku untuk kesekian kalinya, mencoba menyadarkan diriku dari tidur sore yang cukup panjang.
Kepalaku terasa berat, dan mataku seolah berkunang-kunang. Rasanya tidur sore panjang tadi berakhir sia-sia, bukannya menjadi lebih segar, tubuh ini malah terasa lebih lelah.
They were right, tidur di sore hari memang akan membuat tubuh seseorang menjadi tambah letih.
But, hey wait! There are no sunshine out there...
"Puas tidurnya?" Suara berat itu benar-benar mengagetkanku.
"Kamu sejak kapan disini?" Tanyaku terkejut, tiba-tiba saja seluruh rasa kantuk tadi langsung menghilang seiring tersadarnya diriku atas kehadirannya.
Aku hanya memandang tubuhnya yang bersandar pada dinding dekat tempat tidur.
Wait, what? Tempat tidur? I thought I was sleeping in the couch...
Rasanya tidak mungkin kan aku berjalan ke kamar tidur sendirian? Seingatku saat itu aku sedang menemaninya menonton film dokumenter National Graphic, and, umm.. It was kinda boring, and suddenly I fell asleep.
And then, waking up in this bed.
"10 menit sebelum kamu bangun mungkin. So I was wasting my time just for staring at you who fall asleep." Jawabnya santai, dengan matanya yang langsung menatap mataku.
"Umm.. Okay. Dan, umm.. Kok aku bisa ada disini? I mean, umm, seingatku aku ketiduran pas lagi nonton." Jelasku terbata-bata. Shit, tatapan matanya benar-benar menghisap seluruh indra dalam tubuhku.
"Correct that, nemenin aku nonton." Hanya itu jawabannya, dan dengan senyuman miring andalannya.
Aku hanya menggaruk tengkuk belakang, dan memandangnya dengan salah tingkah. Dia hanya memandangku sebentar, kemudian tersenyum bangga. Sialan.
"Kamu beneran enteng banget, ya. You look skinnier than before, Al. So, please, eat more." Ujarnya tiba-tiba, out of topic.
Aku hanya memandangnya bingung. Okay, yes, I know. I'm too skinny, tapi beneran deh, he is really out of topic now. Gak nyambung banget.
"Tadi aku gendong kamu kesini pas kamu ketiduran." Ujarnya selolah tau isi pikiranku. Kenapa sih laki-laki didepanku ini senang sekali ngomong tiba-tiba dan bikin kecerdasan seseorang menurun drastis? Aku hanya bisa terbengong setiap mendengar ucapannya yang tiba-tiba. Otakku tiba-tiba berubah menjadi lambat untuk mencerna dan berfikir.
"Oh, iya, ya? Maaf deh ngerepotin. Thanks anyway." Jawabku sambil menggaruk tengkuk. Kecenderungan yang sering aku lakukan jika dalam situasi bingung dan tidak tahu harus berkata apa.
Dia hanya menyunggingkan senyum, dan membelai pucuk kepalaku "you don't have to."
Senyumnya membuat otakku tiba-tiba membeku dan membuatku semakin kehilangan kata-kata.
Seharusnya aku marah karena dengan asal dia menggendongku begitu saja, dan siapa tau dia melakukan hal yang tidak aku ketahui saat aku terpejam. Iya kan? Bisa saja itu terjadi tapi sepengetahuanku. Seharusnya aku memakinya dan mengintrogasinya saat ini juga.
But, I have no words. Senyum dan belaian tangannya tadi benar-benar membuatku tertegun.
Aku mencoba merapihkan rambut panjangku yang aku yakin sudah tidak berbentuk. Mencoba untuk melakukan suatu hal untuk meminimalisir debaran di dada.
"Don't try to fix anything, babe, you look prettier and a little bit sexy when you're just awake." Ujarnya sambil tersenyum seolah-olah tahu apa yang sedang terlintas dipikiranku. Yeah, he was right, I'm a little bit afraid of being ugly in front of someone whom I loved so.
But, it's normal, isn't it? Every girls will do that too, I bet.
Namun, tidak bisa kupungkiri, pipiku terasa memanas dan hatiku berdebar lebih kencang mendengar ucapannya, apalagi ditambah dengan tatapan matanya yang seolah-olah menembus langsung kedalam jiwaku.
"Heran, deh. Orang baru bangun tidur aja sempet-sempetnya kamu gombalin." Jawabku sambil mengejeknya. Sebenernya itu caraku untuk menenangkan jantung ini yang berdetak begitu hebatnya. Caraku untuk bersembunyi, agar dia tidak mendengar suara debaran ini dan tidak menyadari pipiku yang semakin merona.
Dia hanya tertawa, sambil geleng-geleng kepala. Damn.. His laugh.... I just feel my heart beats faster and faster.
"Handphone kamu daritadi bunyi nih, ganggu orang yang lagi asik-asik nonton tv aja." Ujarnya setelah selesai tertawa, sambil memberiku handphone yang tadi aku tinggalkan saat menonton tv.
Aku hanya menerima uluran tangannyanya, dan mengecek 12 panggilan tidak terjawab.
"That bastard, eh?" Tanyanya dengan nada sinis.
"He was calling you every minutes. Tadinya aku mau ngangkat, eh keburu dia tutup. Bagus deh, seenggaknya dia gak akan kena serangan jantung hari ini karena ngedenger suara laki-laki dari handphone kamu." Lanjutnya kemudian, masih dengan nada sinis di setiap kata yang ia keluarkan.
I'm glad that he didn’t answer the phone. I can't even imagine what will happen if he really doing what he just said.
"Van, udah deh ah, sinis banget. All that matter is, I'm yours today. Totally yours." Jawabku semanis mungkin, sambil mendekatkan diriku pada tubuhnya, dan bersandar pada dada bidangnya.
"I wish you were mine forever.. Not just for today." Ujarnya sambil membelai lembut rambutku.
Ada luka yang tersirat di balik suaranya, aku bisa merasakan itu semua... Karena suaru itupun sering aku dengar setiap hari, berasal dari rongga mulutku sendiri.
Handphoneku kembali berbunyi dan aku bersyukur, karena setidaknya ada hal yang dapat mengalihkan pikiranku agar tak meneteskan air mata.
"Iya, Ma?" Jawabku setelah menekan tombol hijau di keypad handphone.
Evan melepaskan pelukannya dan menatapku lekat-lekat, seolah-olah tidak ingin kehilangan satu momen pun tentang diriku.
"Iyaa, ini aku masih dirumah temen." Ujarku berbohong. It is allowed for white lie, isn't it?
Mata Evan seolah-olah mengejekku, dan menertawaiku dengan segala kebohongan yang aku utarakan.
"Astaga! Sorry mom, I forgot! Huu-uh, yes, okay, mom. Iyaa, I will be there in thirty minutes." Ujarku mengakhiri pembicaraan.
Evan hanya menatapku dengan tatapan bertanya.
"Aku lupa hari ini ada janji makan malam di rumah. Papah baru aja dateng dari Medan setelah satu minggu." Jawabku sebelum dia bertanya.
"So, you have to leave right now?" Tanyanya, dengan lagi-lagi, tatapan yang penuh luka.
Sejujurnya, aku tidak mau pergi sekarang. Hatiku masih ingin merasakan kehadirannya dan menghabiskan waktu yang tak akan datang kembali untuk bersamanya. Aku masih ingin berada disini, berdua, bersamanya.
"Gimana kalau kamu ikut ke rumah?" Tanyaku sambil mendekap lengannya. Dan benar saja, dia pasti akan menggeleng, dan menolak penawaranku.
"Ayolah, Van. Udah lama juga kan kamu gak ketemu Mamah dan Papah? Apa sulitnya sih?" Aku mencoba merayunya lagi, semanis mungkin.
Evan melepaskan dekapan tanganku, dan membelai kedua pipiku sambil berkata,
"Sulit, Al, kalau keadaannya kayak gini, aku mana kuat pura-pura di depan mereka, seolah semuanya baik-baik aja."
Kemudian aku terdiam mendengar jawabannya. Mata kami hanya bertemu pandang, tanpa ada kata yang keluar, hanya menyiratkan luka di mata masing-masing, yang lukanya terpendam jauh di dasar hati satu sama lain.
Seandainya semuanya baik-baik saja... Seandainya keadaannya tidak serumit ini.. Pasti semuanya tak akan sesulit ini.
"Please?" Rayuku lagi, masih belum menyerah.
Evan hanya mendesah sambil menggeleng.
Dadanya naik turun seolah menahan sesak yang begitu menyakitkan.. Aku mengenal jelas gerak gerik tubuh itu, karena begitulah yang akan kulakukan, setiap dada ini terasa sesak dan perih.
Aku merasakan air mata yang ingin mengalir di peluk mataku. Menatap dirinya yang penuh luka membuat diriku semakin sakit. Rasanya ingin aku mengobati luka itu, dan membuatnya baik-baik saja.. Namun pada kenyataannya, aku malah merobek luka itu lebih lebar lagi.
"Please, for me? Lagian masa kamu tega ngebiarin aku pulang sendirian naik taksi?" Ujarku lagi, kembali merayunya, dan kali ini aku berusaha tersenyum, walau segalanya terasa sulit.
Evan hanya menatapku dengan penuh luka dan menghela napas.
Aku balas menatapnya dengan tatapan mata yang amat memohon.
"Fine, then." Ujarnya akhirnya, membuat lekukan dibibirku terlukis begitu lebarnya.
"Yeaaaay! Gitu, kek dari tadi, kayak anak kecil ajasih kamu pake harus dirayu-rayu segala." Ujarku dengan cengiran lebar. Lalu memposisikan diriku untuk bangun dari tempat tidur dan merapikan pakaianku.
"Kamu beneran mau pulang dengan keadaan kayak gini?" Tanyanya, ikut berdiri disampingku.
"Iya. Kenapa?" Jawabku sambil mengerutkan dahi.
"Gak mau mandi dulu?" Tanya Evan dengan polosnya.
Aku hanya mengerutkan alis, dan memandangnya dengan tatapan "what the hell you've just said?",
"What????! Hell no! No. I will never let myself taking bath in your apartement, not ever."
"Lah, kenapa? Aku ada kok peralatan mandi buat perempuan." Jawabnya masih dengan raut wajah polos.
Aku hanya menatapnya dan berdiri tepat dihadapannya sambil berkata sebal,
"By letting you seeing me naked? No, Evan, no, thank you. I prefer to being this mess."
Evan hanya menganga mendengar jawabanku, kemudian geleng-geleng kepala,
"Apa? Yaampuuun, Alicia, seriously... I'm that pervert on your fucking mind?"
Aku langsung terdiam. Oh, jadi tidak ada makna tersirat di balik penawarannya tadi?
Fuck you, pervert mind.
"But, Al, like I never seen you naked before.. Remember?" Ujarnya, sambil menatap mataku dengan tatapan seduktifnya, dan dengan senyuman menggodanya..
This men.... Aku hanya memelototinya dan menatapnya sebal,
"Shut up, Evan! It was many years ago!"
Dia hanya tertawa menggodaku dan lagi-lagi senyuman maut itu terlukis diwajahnya,
"Yeah, it was so long, huh? And I bet, there are so much changes on what I saw many years ago." Lagi-lagi, senyuman miring itu terlukis di bibir menggodanya, ditambah dengan kedipan matanya yang membuat lututku terasa semakin lemas.
"Just shut up, okay? I promise my mom will arrive in thirty minutes. Can we just leave now?" Jawabku dengan nada sesebal mungkin.
Namun, jujur saja, aku tidak mungkin bisa menyembunyikan kebahagiaan yang sedang meluap, karena kali ini, tidak ada lagi tatapan luka di matanya, dan raut wajah yang menahan perih dalam dirinya. Yang aku lihat hanyalah sosok pria yang aku cintai, walau dengan otak yang super dewasanya, perkataannya yang membuatku membeku, tatapannya yang membuatku merona, bibirnya yang membuat lututku lemas, dan senyuman miringnya yang membuatku sebal. Tapi semua itu membuatku lega dan bahagia, because I prefer seeing him like this.
"Yes, princess, but, can you give one kiss on this?" Ujarnya, memulai kembali. Tersenyum menggoda dan menggigit bibir bawahnya.
"I will never do that." Jawabku sambil memutar bola mata dan bersiap untuk melangkahkan kaki.
"So do I." Bukannya mengikuti, Evan malah mendudukkan tubuhnya kembali ke atas kasur.
"For God's sake, Evan!" Teriakku sebal.
"Just one kiss." Ujarnya lagi, masih tak mau kalah.
"You really have a dirty mouth, eh? Just shut up and let's go." Ujarku sambil melangkahkan kaki kembali.
Dan, yeah, I'm the winner here. Aku bisa merasakan langkahan kaki Evan yang mengikuti dibelakangku.

**

            "You really owe me a kiss." Evan belum menyerah ternyata, dia masih saja membicarakan hal tadi, walau mobilnya sudah parkir tepat di garasi rumahku.
"Shut up." Jawabku lagi-lagi, dan kembali meninggalkannya dan mendahuluinya memasuki rumah.
"Serius deh Al, kalau kamu ninggal-ninggalin mulu, aku lebih baik pulang aja." Ujarnya dengan nada sebal sesaat setelah langkahan kakinya setara dengan langkahan kakiku.
"Terus kenapa masih ada di sini?" Tanyaku as annoying as possible. Raut wajah Evan makin menandakan kesesalan. Well, I love him as much as I love make him annoyed;)
Evan hanya melirikku sinis dan sebal.
"Inget umur deh, Van, gak pantes banget kamu sok ngambek gitu." Ujuarku makin membuatnya kesal. Dalam hati aku ingin tertawa melihat raut wajah sebal bak anak kecil di atas wajah mempesonanya itu. Membuatnya semakin cute and adorable.
"I swear, if there were no one here, I would do bad thing to you. Just to remind you not to be this annoying." Jawabnya masih dengan nada sebal.
"Uh, celem." Aku menjawab ancamannya sambil tertawa.
"Sumpah ya, Al, aku ingetin aja, you will regret this later." Evan lagi-lagi mengancamku, dan lagi-lagi aku menjawabnya dengan raut wajah yang membuatnya semakin kesal.
Aku hanya terus menertawai sikapnya yang seperti anak kecil.
Belum sempat Evan mengeluarkan kalimat mengancam lagi, kehadiran Mama dan Papa dari tangga atas membuatnya terdiam dan mengganti wajahnya menjadi pura-pura menyenangkan.
Aku ikut menghentikan tawaku saat menyadari senyum paksaan yang terlukis di wajah Evan.
"Loh ada tamu ternyata." Sapa Mama saat menyadari kehadiran Evan disebelahku.
"Hehehe, iya nih, Tan. Tadi diajakin Alicia kesini. Kebetulan udah lama juga gak pernah mampir." Jawab Evan seramah mungkin.
Sialan, kenapa juga dia bawa-bawa nama aku?
"Loh memangnya kalian abis pergi bareng?" Nah, ini. Papa pasti bakal bertanya, dan aku yang harus menjawab. Artinya, dosa berbohong aku yang menanggung. Evan hanya mendengarkan dan menahan tawa. Sialan banget kan cowok di sebelahku ini.
"Tadi ketemu di lobby apartemen Evan, Pah. Ternyata Evan satau apartemen dengan Dinda. Kebetulan juga kan aku lagi gak bawa mobil. Trus Evan juga gak lagi sibuk-sibuk banget, yaudah aku ajak aja kesini. Sekalian cari tumpangan. Hehehe." Jelasku panjang lebar. Papa hanya mengangguk, dan kembali memusatkan perhatiannya pada cowok di sebelahku ini.
"Kamu tuh sesibuk apa sih, Van? Sampe gak pernah kesini." Sindir Papa. membuat Evan jadi garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
"Biasa deh, Om.. Deadline sana-sini. Lembur terus tiap hari, setiap ada waktu luang pasti ngerjain skesta. Gitulah, Om." Jawab Evan sambil cengar-cengir.
"Tapi jangan keterusan sibuk juga, Van. Kasian juga yang jadi pacar kamu nanti haus perhatian." Ujar Papa sambil tertawa.
Evan hanya ikut tertawa hambar, mukanya sedikit memerah seperti mukaku. Well, I dunno.. Tiba-tiba saja aku merasa salah tingkah saat Papa berbicara seperti itu.
Padahal aku yakin Papa pasti tidak bermaksud membicarakan tentang 'kami' berdua.
"Ngobrol dan kangen-kangenannya dilanjut di meja makan aja, yuk. Makanannya sudah siap tuh." Ajak Mama kemudian, kalimatnya barusan benar-benar 'menyalamatkan' aku dan Evan dari kecanggungan dan kesalahtingkahan.
Aku mengikuti Mama dan Papa dibelakang, dengan Evan di sisiku. Kami tanpa sengaja betukar pandang, dan sama-sama melukiskan senyuman yang menggambarkan kelegaan di raut wajah masing-masing.
Kemudian, kami berdua saling tertawa tanpa suara, hanya mata yang berbicara, dan saat pandangan mata Mama dan Papa ikut terlibat, kami kembali berpura-pura, berpura-pura bahwa segalanya masih sama seperti yang lalu. Sebelum perasaan cinta ikut terlibat.

No comments:

Post a Comment