Pages

Wednesday, March 18, 2015

It's still the same

17 Juni 2014

Langit sore ini begitu terang, angin berhembus tak berhenti, menyapa kulitku dan menerbangkan rambut-rambut kecilku. Matahari tertutup awan putih, membuat udara terasa sejuk dan damai.

Suara ombak berbenturan satu sama lain dengan kecepatan yang stabil, membuatku merasakan tenang menangkap suaranya. Tak ada polusi udara, tak ada kerumunan kehidupan yang membuat letih, tak ada siapapun, hanya aku dan dia.

Sore itu, semesta seolah-olah bekerja sama untuk membiarkan kita berdua menikmati indahnya suasana pantai.

“Thank you for bring me here.” Ujarku dengan senyuman yang begitu tulus.

“Anytime. Gue seneng liat lo daritadi senyum terus-terusan.” Jawabnya dengan senyuman yang tak kalah indah.

“Gue suka banget pantai, dari umur 5 tahun sampai detik ini. Gue emang belum pernah sih merasakan ombak dan sejuknya air asin di tengah pantai, karena jujur aja gue gak bisa berenang dan gue takut air.” Ujarku malah bercerita tentang hal lain. Bersama dia, aku merasa menemukan seseorang yang mampu mendengar apapun yang keluar dari mulutku. Mulai dari hal tidak penting, hal yang membuatku khawatir, hingga masalah-masalah yang menggangguku, aku dapat memberitahukannya.

“Terus yang ngebuat lo suka itu apa?” Tanyanya heran.

“Pantai sebagai filosofinya. Gue suka suasananya, suara ombaknya yang bisa bikin gue lebih tenang, hembusan anginnya yang bikin gue merasa lebih damai. Pemandangan langitnya yang bisa buat gue merasa takjub.” Jawabku tersenyum sambil menerawang ke langit yang begitu indah dan terasa dekat.

“Gue inget banget pertama kali gue suka pantai itu karena apa, laki-laki pertama yang gue cintai yang membawa gue kesini dan memengaruhi isi kepala gue.” Ceritaku lagi, tanpa henti. Sudah kubilang bukan, aku tidak mengerti dia mempunyai magnet kah atau sesuatu hal yang terus memaksaku berbicara dan bercerita, namun aku memang senyaman itu memberitahunya segala hal yang berada di kepalaku.

“Laki-laki pertama yang lo cinta?” Tanyanya ragu.

“Bokap gue.” Ujarku mengklarifikasi.

“Beliau orang yang cukup berpengaruh dengan hal-hal yang gue suka dan tidak suka saat ini. Beliau amat sangat suka pantai, dan berenang, makanya sering banget ngajak gue ke pantai dulu saat masih kecil.”

“Tapi memang dari kecil gue penakut dan kayaknya sifat cepat khawatir gue memang sudah ada dari dulu, gue gak pernah mau diajari berenang atau ikut bokap gue bermain air. Gue takut ketinggian, takut kedalaman, dan juga takut air. Gabungan yang pantai miliki semua kan?”

Dia terus mendengarkan sambil terus memandangiku yang sedang asik bercerita.

“Aneh deh. Lo suka pantai, tapi gak suka berenang dan bermain air. Apa artinya?” Tanyanya heran dengan isi kepalaku.

“Memangnya lo butuh alasan untuk mencintai sesuatu?” Tanyaku.

“Maksudnya?” Tanyanya balik dengan dahi berkerut.

“Gue punya prinsip sendiri saat mencintai sesuatu atau seseorang. Hanya karena ada beberapa hal yang bikin gue tidak nyaman dan membuat gue takut, bukan berarti gue mencintainya dengan kurang. Cinta gak semain-main itu.” Ujarku dengan jelas.

“Aneh.” Jawabnya datar.

“Kok, aneh sih?” Tanyaku bingung.

“Karena bagi gue gak gitu. Saat gue mencintai sesuatu atau seseorang, gue mencintai seluruhnya, tanpa sedikitpun cela, tanpa rasa tidak nyaman ataupun tanpa rasa takut.” Ujarnya menjelaskan.

“Lantas kalau ada sesuatu yang membuat lo tidak nyaman?” Tanyaku menuntutnya penjelasan.

“Gue bakal berusaha merubah perasaan tidak nyaman itu, gue sih percaya perasaan cinta bisa menghilangkan dan mengesampingkan perasaan tidak nyaman itu.” Ujarnya sambil menatap mataku.

“Kalau tiba-tiba ternyata perasaan tidak nyaman itu muncul, walaupun lo udah berusaha mencintainya, bagaimana?” Tanyaku sambil menantang tatapan matanya.

“Berarti gue gak cinta lagi. Memangnya lo bisa mencintai sesuatu atau seseorang tanpa rasa nyaman?” Tanyanya balik tanpa mengalihkan pandangan.

“Bisa.” Jawabku sambil menghindari tatapannya, lantas pura-pura memandang ke depan.

“Aneh. Bagi gue kita harus nyaman dulu baru perasaan cinta akan timbul.”

“Berarti kita bener-bener mempunyai pandangan berbeda ya dalam hidup.” Ujarku pelan, seperti berbisik.

“Ngomong apa, Nay?” Tanyanya memastikan.

“Nothing.” Aku menoleh sambil tersenyum.

Langit berubah warna, matahari sudah akan tergelincir ke arah barat. Burung-burung berterbangan dengan bebas di atas langit. Langit begitu terang dan penuh warna, membuatku tersenyum menatapnya.

“Kita kesana, yuk? Liat sunset dari sana pasti lebih bagus.” Ajaknya sambil menggandeng tanganku.

Aku mengikuti langkahnya, sambil menggenggam tangannya yang basah namun begitu membuatku merasa tenang dan damai. Aku menggenggam semakin erat, dan dia menoleh, sambil tersenyum begitu tulus dan indah.

Kita berjalan menyusuri pantai sambil bergandengan tangan. Suasana pantai begitu sepi, tidak ada orang yang sedang bersenang-senang, hanya ada beberapa nelayan yang baru saja selesai menangkap ikan dan akan segera pulang.

Hanya ada kita berdua.
Aku dan dia. Dengan background langit yang begitu berwarna, juga suara desiran ombak, dan tak lupa angin yang berhembus damai.

“Sunsetnya indah.” Ujarku saat kita berhenti melangkah dan menatap langit yang sudah berubah warna.

Dia hanya tersenyum, mengangguk, dan tiba-tiba memelukku dari belakang.

Aku hanya tersenyum, tidak meronta atau merasa keberatan. Jika ada hal yang bisa aku pilih untuk tinggal selamanya, aku ingin tinggal di pelukannya. Berada di sela-sela kedua lengannya, memeluk dan dipeluknya sambil menikmati hari yang terus berjalan.

Tidak ada suara yang terucap. Hanya desiran ombak yang seolah-seolah bernyanyi, dan hembusan angin yang bersenandung lembut.

Aku begitu menikmati waktu seperti ini. Saat sunset tiba, dan berada di pelukan laki-laki yang membuatku makin mencintai indahnya suasana pantai.

“Gue sayang lo, Nay.” Bisiknya pelan dan lembut, namun begitu yakin.

Aku tersenyum mendengar ucapannya. Air mataku menetes, bukan karena rasa sedih, namun perasaan bahagia yang begitu meggebu.

“Naya, would you be my girlfriend?” Tanyanya sambil memutar posisiku, lalu jarinya menghapus air mata di pelupuk mataku, kemudian menggenggam kedua tanganku dengan begitu erat, seolah-olah tidak ingin melepaskan, dan ingin selalu menjagaku.

“Ada banyak hal yang lo belum tau tentang gue. Bagaimana kacaunya pikiran gue, bagaimana gue gampang khawatir terhadap suatu hal. Hidup gue gak menyenangkan, banyak sisi gelap dalam diri gue, kita akan banyak berbeda pendapat, gue takut kalau akhirnya lo akan capek ngadepin semua sikap dan sifat gue. Karena gue bisa melakukan kesalahan nanti, gue bisa ngelakuin hal-hal bodoh, akan ada sifat gue yang bakalan lo gak suka, sesuatu yang buat lo gak nyaman. Apa lo bisa menerima itu semua?” Tanyaku penuh nada khawatir.

“Gue sayang lo, Nay. Dan gue akan menerima semua hal itu. Gue akan berusaha buat terus menjaga perasaan gue untuk lo sama seperti gue akan selalu ngejagain lo.” Jawabnya meyakinkan.

Aku melepas genggaman tangannya, kemudia berlari pelan, dan berteriak,
“Tunjukin seberapa besarnya lo gak mau kehilangan gue!”

Dan dia mengejarku dengan sigap dan cepat, seolah-seolah seperti tidak ingin melepaskanku dan kehilanganku, kemudian dia menangkapku, memeluk tubuhku dan kita tersenyum bahagia dengan matahari yang akhirnya benar-benar tenggelam.

Aku memeluknya begitu erat, “I love you.”

“I love you more.”

Dan dengan saksi langit yang sudah gelap, itulah kata terakhir yang kami ucapkan di tempat ini. Kata yang bisa didengar oleh seluruh penghuni pantai, dan kemudian dihembuskan oleh angin, dibawanya entah kemana.

Namun yang aku tahu, perasaan cinta ini akan selalu ada di lubuk hatiku, tak akan berkurang dan tak akan berpindah.

**

17 Maret 2015

Masih di tempat yang sama. Pantai yang sama. Desiran ombak yang sama. Hembusan angin yang sama. Pemandangan langit yang sama. Dan pasir coklat yang sama.

Yang berbeda hanyalah keadaan tak seindah dulu kala. Laki-laki kedua yang membuatku lebih mencintai pantai tak lagi bisa menemani. Dia sudah menemukan hidup baru, yang sialnya lebih baik tanpa diriku. Dia sudah berjalan maju lebih dulu, dan tidak bisa memutar arah ataupun berjalan mundur. Aku bukan lagi tujuannya, bukan lagi rumah yang bisa membuatnya ingin pulang.
Dia sudah menentukan untuk keluar dari kata kita. Yang menyebabkan tak ada lagi aku dan dia di cerita yang sama.

Aku merenung menatap langit sendirian. Menahan seluruh air mataku agar tidak mengalir. Mengontrol semua emosiku agar tidak lagi menangis. Dan merasakan sakit sendirian.

Aku berdiri dan menginjakkan kaki tepat di pasir yang dulu aku dan dia terakhir kali injakkan.

Sudah 9 bulan berlalu, banyak kenangan indah terukir juga kenangan pahit yang memberiku banyak pelajaran.

Terkadang hidup selucu ini, waktu begitu cepat berjalan, dan tiba-tiba saja dalam hitungan hari semuanya berubah dan berkebalikan. Dulu semesta seolah-olah mendukung, namun kemudian, dengan terencana ingin memisahkan.

Orang yang dulu berjanji bisa menerima malah akhirnya pergi dan menyalahkan seluruh sikapmu. Orang yang dulu menghapus air matamu kini malah menjadi penyebab air matamu. Orang yang dulu menjadi alasanmu tertawa dan bahagia, sekarang menjadi satu alasan mengapa kau menangis di setiap mimpi burukmu. Hidup kadang selucu itu. Dan seperih itu.

Air mataku terus mengalir tanpa henti, di tempat yang dulunya aku pernah tertawa begitu bahagia.

“I love you.”
Ucapku masih di tempat yang sama, dan dengan perasaan yang masih sama. Perbedaannya sekarang tidak ada lagi orang yang membalas ucapan itu.

But you know what, you will always be the second man I love after my dad. Always.

Wednesday, March 4, 2015

Permintaan maaf

Mana yang paling menyakitkan? Menjadi yang meninggalkan atau yang ditinggalkan?
Keduanya sama perihnya.
Tak banyak orang tahu menjadi yang meninggalkan pun sama berat dan pedihnya.
Saat perjuanganmu tidak lagi dihargai,
Saat rasa sayangmu tidak lagi cukup berguna,
Saat semua yang dikatakan tak lagi didengar,
Saat semua yang dilakukan berakhir sia-sia.
Aku benar-benar menyesal karena membuatmu merasakan itu semua. Rasanya berjuta permintaan maaf pun tak akan mampu mengobati luka di hatimu.
Maaf karena aku begitu keterlaluan,
Maaf karena segala ucapankanku saat itu,
Maaf karena aku menuduhmu egois, tanpa berkaca terlebih dahulu,
Maaf karena aku tak bisa menerima semua perubahan pada dirimu,
Maaf karena aku begitu bodoh untuk menyakitikmu hingga akhirnya kau pergi.
Saat itu seharusnya aku bisa lebih tenang dan lebih berfikir panjang atas segalanya. Seandainya saat itu aku lebih berhati-hati dengan segala kata yang aku keluarkan, seandainya saat itu aku lebih sabar dan lebih dewasa,
Mungkin saat ini masih ada kamu yang selalu tiba-tiba datang ke rumahku, yang tiba-tiba mengacaukan kamar tidurku, yang selalu memberiku perhatian dan pengertian, yang gigih berjuang, yang selalu sabar dan tak pernah marah.
Aku begitu menyesal atas seluruh kata yang malam itu aku ucapkan padamu,
Seandainya aku bisa lebih berfikir jernih, dan menghargai segala usahamu,
Sekarang pasti masih ada kamu disini.
Tapi penyesalan pun tak berarti apa-apa lagi.
Aku tak bisa menelan kata-kata yang sudah terlanjur diucapkan,
Aku tak bisa memaksamu lupa,
Dan aku minta maaf karena aku tak bisa mengobati luka yang telah aku torehkan.
Semoga kamu menemukan seseorang yang dapat menghargai usahamu, menyayangimu selalu, tak cepat mengambil keputusan, dan tak seenaknya memperlakukan seseorang seperti sebuah mainan.
Aku berdoa agar luka di hatimu cepat terobati,
Dan kamu bisa menemukan yang jauh lebih baik lagi.
Karena kamu memang pantas mendapatkan seseorang yang tak sekacau diriku.
Maaf karena telah membuatmu pernah berhadapan dengan orang semenyedihkan dan segelap diriku.
Aku tak pernah menyalahkan sikapmu sekarang. Kamu benar-benar berhak untuk memperlakukanku seperti ini sekarang.
Kamu berhak mendapatkan kebahagiaan.
Dan aku meminta maaf karena tak bisa memberimu itu semua.
I really wish you a tons of happiness.

Take care, S.