Pages

Monday, March 7, 2016

To Father,

“Dulu papa juga sangat suka menulis.” Telingaku tiba-tiba mendengar suara yang begitu ku hafal di luar kepala.
Aku sedang terduduk di taman belakang, menatap kosong pada layar laptop yang cahayanya kelamaan akan meredup, karena terlalu lama ku anggurkan.
“Papa sudah pulang?” Tanyaku agak terkejut. Hanya kalimat itu yang dapat ku ucapkan.
“Mengapa kau tutup layarnya? Papa mengganggumu, ya?” Tanya papa setelah aku menutup layar laptopku.
“Tidak, pa. Aku hanya tak ingin melanjutkan tulisanku saja, sudah buntu dan tidak memiliki ide lagi.” Jawabku tanpa menoleh ke arahnya.
Papa ikut duduk di sebelahku, dan mulai menyalakan laptopku lagi,
“Jangan dibaca, ih, tulisanku masih seperdelapan jadi.”
“Lantas segera selesaikan.” Jawab papa sambil tersenyum.
“Sepertinya tidak akan ku lanjutkan. Aku kehabisan ide untuk membuat alurnya menarik.” Jawabku tidak bersemangat.
“Lalu kamu akan menelantarkan tulisanmu yang seperdelapan jadi itu?”
Aku hanya mengangkat bahuku. Karena sejujurnya aku tidak memiliki rencana apa-apa. Yang aku tahu, aku hanya suka menulis.
“Menulis itu bukan hanya sekedar sebuah proses, kak. Kamu tidak bisa hanya terus-terusan menuliskan segala hal, kamu harus punya tujuan; akan dibuat seperti apa tulisanmu. Harus ada hasil yang pasti dari yang kamu tuliskan. Dan untuk menyelesaikan proses itu, kamu perlu berkomitmen untuk tidak menelantarkan tulisanmu begitu saja di tengah jalan, hanya karena kehabisan ide.”
“Tapi aku tidak berniat untuk menyeriusi dunia tulis menulis. Aku hanya suka menulis, itu saja.”
“Percayalah, kamu akan jatuh cinta terhadapnya, kemudian berakhir tak ingin keluar dari dunianya.”
“Seperti yang pernah papa alami?”
“Ya, sayangnya papa hanya jatuh cinta, tanpa komitmen apapun untuk papa serahkan. Jadilah, tak ada hasil yang jelas akibat tak ada kepastian. Karena jatuh cinta saja tak cukup, kak.” Ujar papa sambil tertawa, seolah itu semua lucu.
Aku tidak merespon apapun ucapan papa, namun pikiranku berkecamuk dan terus memikirkan kalimat yang papa utarakan, bahwa jatuh cinta saja tak cukup. Lima kata itu membuat pikiranku melayang kemana-mana, dan tanganku merasa tertantang untuk segera menuliskan hal yang berkeliaran dalam kepalaku.
“Bacalah buku yang banyak. Itu akan membantumu meningkatkan skill menulis.” Ujar papa sambil beranjak pergi.
“Pa,” pangilku sambil tersenyum.
“Terima kasih atas kalimat jatuh cinta saja tak cukup. Aku jadi memiliki ide baru untuk menulis.”
Papa hanya memandangku dengan mata berbinar, dan senyum yang mengembang.
“That’s my daughter.”
Dan tinggalah aku sendirian di taman belakang. Hanya ditemani laptop, dan kalimat-kalimat dalam pikiranku yang berteriak segera ingin dimerdekakan.

**
Aku tidak ingat sejak kapan akhirnya aku tenggelam dalam dunia tulis menulis. Papa benar, akhirnya aku benar benar jatuh cinta. Aku bahkan memutuskan untuk mempelajari sastra lebih dalam lagi. Papa membantuku untuk menemukan diriku sendiri melalui dunia ini, menyadarkanku untuk selalu mencintai diriku sendiri, dan berpegang teguh pada apa yang aku percayai. Papa sukses menanamkan hal-hal penting dalam hidup yang tak akan ku temukan jikalau aku tak berlabuh pada dunia ini.
Namun, aku juga belajar satu hal yang lebih penting lagi. Saat kau menemukan, kau akan berhadapan dengan kehilangan. Saat kau mencintai dirimu lebih dari apapun, kau tak lagi percaya pada cinta siapapun. Dan saat kau berusaha mempercayai apa yang kau yakini, kau harus siap mempertaruhkan kepercayaanmu atau orang yang kau sayangi.
I wish I can love myself and my father at the same time..
“Kamu gak mau bicara sama Papa?” Itu pertanyaan yang selalu Mama ucapkan setiap dua minggu sekali aku menelepon.
Aku selalu berusaha meluangkan waktuku untuk menelepon Mama, walau hanya sekitar 20 menit. Mama selalu menawar agar aku bisa seminggu sekali menelepon, tapi aku belum siap untuk berbicara banyak pada siapa pun, walau kepada seseorang yang selama ini paling aku percaya.
“Belum waktunya, mungkin nanti.” Selalu itu jawaban yang keluar dari mulutku. Sebenarnya aku ingin mengancam Mama dengan ancaman tak akan menelepon lagi jikalau pertanyaan itu yang selalu ia lontarkan, tapi aku tak ingin menyakiti perempuan yang sudah mengorbankan segalanya demi kehidupanku lebih dalam lagi.
“Sejak sebulan yang lalu Papa selalu membereskan perpustakaan milik kalian berdua, katanya supaya ada kerjaan di hari Minggu, padahal Mama sadar bukan itu tujuannya.” Aku hanya mendengarkan Mama berbicara melalu telepon di seberang sana.
Aku dan Papa memang mempunyai perpustakaan kecil di rumah, dulu aku yang memintanya, dan Papa dengan bersemangat membuatkannya untukku. Mama selalu menyebut perpustakaan kecil itu sebagai “Perpustakaan Milik Kalian Berdua.” Kalian ditunjukkan kepadaku dan Papa, sebagai satu kesatuan. Di keluarga kami memang hanya aku dan Papa yang selalu mengisi rak-rak di dalamnya dengan koleksi buku-buku kami, Mama hanya menyumbang buku resep makanan dan tutorial hijab miliknya, dan kedua adikku yang laki-laki hanya menyumbang serial komik yang volumenya belum lengkap. Sementara aku dan Papa selalu berusaha untuk mengisi rak-rak itu minimal dengan tiga buku baru dalam setiap bulan.
“Papa rindu kamu, kak.” Ujar Mama dengan suara pelan, namun terasa seperti petir yang menggelegar dalam dasar hatiku.
Aku mengira diriku kuat, aku mengira semua rasa cinta dalam diriku sudah bertranformasi menjadi kebenciaan, atau setidaknya, aku mengira diriku sudah tak bisa merasa sakit juga kecewa lagi, aku mengira aku sudah tak lagi peduli, aku mengira... aku mengira...
Perkiraanku salah. Pilihan untuk kabur selama berbulan-bulan ternyata tidak membuatku semakin tangguh, mungkin dalam pikiran dan perkiraanku memang iya, namun nyatanya di dalam diriku masih tersungkur rapuh.
I wish I can hate a person who biologically speaking should I love...
“Minta maaflah pada Papa, kak. Turunkan sedikit egomu.” Ujar Mama saat aku tak merespon apapun.
“Suatu saat nanti, Ma. Saat aku sudah siap.” Jawabku singkat. Kalimat itu pula yang menutup pembicaraanku dengan Mama saat itu. Aku beralibi pada Mama akan menyelesaikan tugas-tugas yang menumpuk, padahal untuk berkonsentrasi pun aku terlalu lelah. Tadinya aku ingin membicarakan hal itu, namun memang lah seperti ini hidup berjalan, saat kau sedikit yakin untuk membuka dirimu dan membiarkan orang lain menyentuh jiwamu, saat itu pula kau tahu bahwa hanya dengan berfikiran kau bisa mempercayai orang lain saja sudah kesalahan besar. Lagi-lagi, aku hanya bisa menyimpan segala penderitaanku sendirian.
Aku sadar aku mengecawakan orang orang yang aku sayang, maka sejak itu pula aku berhenti untuk menyayangi orang lain, kecuali diriku sendiri. Mama benar, aku terlalu egois. Aku tak ingin merasakan sakit hanya karena melihat pandangan terluka dari orang-orang yang aku sayang. Aku tak ingin mengorbankan apa yang aku percayai dan hidup dengan segala hal yang bertentangan dengan keinginanku hanya karena untuk membuat orang-orang yang aku sayang bahagia. Sejak saat itu, saat aku merasa menyanyangi seseorang berarti melukai diriku sendiri, aku berhenti peduli pada siapapun, dan aku pergi, meninggalkan mereka yang sampai sekarang masih aku pedulikan, padahal aku sudah bersusah payah untuk tidak peduli.
Ku kira hidup sendirian tanpa harus memikirkan perasaan orang lain dan mengorbankan perasaanku sendiri adalah jauh lebih baik. Tapi nyatanya aku menderita hidup dengan diriku sendiri. Ternyata aku bukan hanya kehilangan orang-orang yang aku sayang, aku juga kehilangan tujuan hidupku, semangatku, dan diriku sendiri. Aku sudah tak tahu lagi siapa yang hidup dalam tubuhku sendiri.
“Papa tidak membesarkanmu untuk menjadi seseorang seperti ini!” Aku masih ingat betul pernyataan Papa tujuh bulan yang lalu.
“Seperti apa? Orang yang selalu Papa anggap salah karena yang benar hanyalah diri Papa sendiri?” Papa menjawab pertanyaank dengan tamparan di pipi sebelah kanan.
“Kenapa tidak Papa bunuh atau usir saja aku dari hidup Papa? Aku terlalu mengecawakan, kan?” Suaraku tertahan di kerongkongan saat itu karena menahan tangis.
“I don’t even want a life like this!” Ujarku saat itu sambil berteriak. Aku tidak sadar saat itu bahwa kata-kata yang keluar dari mulutku membawa panah yang melukai perasaan Papaku sendiri.
“Kamu bukan lagi anak permpuan yang selama 18 tahun hidup bersama Papa. Papa sudah tidak mengenal anak Papa sendiri.” Ujar Papa saat itu, tanpa ekspresi atu intonasi marah. Tatapannya kosong, dan suaranya parau. Tapi aku tahu, Papa sangat kecewa.
Aku tidak menangis saat hari kepergianku dari kota kecil yang hampir 15 tahun menjadi tempat kenangan masa remajaku. Aku juga tidak menangis karena harus berpisah dengan keluarga dan meninggalkan rumah. Aku pergi dengan tidak merasakan apa-apa. Tidak sedih ataupun terluka, maupun bahagia juga merasa bebas.
One thing I only knew, myself already dead that time.
Namun akhirnya malam ini aku menangis. Hanya beberap butiran air mata yang terasa, namun gabungan dari segala penderitaan yang sudah lama menyiksa. Aku rindu, dengan keluargaku, dan dengan diriku sendiri.
“Mama sayang kaka.” Aku seperti bisa mendengar suara mama dari ponsel di atas meja. Pernyataan yang selalu terlontar dari mulut Mama setiap mengakhir pembicaraan.
Dan aku merasa diriku lebih mati mendengar ucapan itu. Aku hanya akan menyakiti orang-orang yang sayang padaku. Aku hanya akan mengecawakan dan membebani mereka.
Akhirnya aku memutuskan untuk mengganti sim card dan memutuskan satu-satunya hubungan dengan keluargaku untuk sementara waktu (atau mungkin selamanya). Bukan karena aku sudah tak lagi peduli pada mereka, aku begitu menyayangi mereka hingga hanya rasa sakit yang tersisa.
“Air mata adalah bukti betapa kau menyayangi seseorang, kak.” Dan di ruangan sunyi ini, aku bisa mendengar rekaman ulang suara Papa saat umurku 12 tahun, tepat sehari setelah nenek meninggal dunia.

To Father,
Dad, I am fine. I am writing this in the corner of my room, playing our song, and remembering our moments.
How are you? Is mother doing fine? How is my sister? Is she growing up become someone you expected your daughter to be?
Father,
I’m sorry I can not tell you this directly, but I just want you to understand, everything that happened to me was not your fault.
Thank you for introduced me about Sylvia Plath and Ernest Hemingway. Now I can learn more how to in love with despair, how to enjoy the agony, and how to live in misery. You are a really great father. You taught me right, it was just me who suck.
I will back very soon. Just make a wish that I will be back not with my dead body. I am just kidding, Dad, even I love Plath and Hemingway that much, I am not going to follow the way their welcomed the death.
I know you still love me with all of your heart, Dad.
Because I also still do.