17 Juni 2014
Langit sore ini begitu terang, angin berhembus tak berhenti,
menyapa kulitku dan menerbangkan rambut-rambut kecilku. Matahari tertutup awan
putih, membuat udara terasa sejuk dan damai.
Suara ombak berbenturan satu sama lain dengan kecepatan yang stabil, membuatku merasakan tenang menangkap suaranya. Tak ada polusi udara, tak ada kerumunan kehidupan yang membuat letih, tak ada siapapun, hanya aku dan dia.
Suara ombak berbenturan satu sama lain dengan kecepatan yang stabil, membuatku merasakan tenang menangkap suaranya. Tak ada polusi udara, tak ada kerumunan kehidupan yang membuat letih, tak ada siapapun, hanya aku dan dia.
Sore itu, semesta seolah-olah bekerja sama untuk membiarkan
kita berdua menikmati indahnya suasana pantai.
“Thank you for bring me here.” Ujarku dengan senyuman yang
begitu tulus.
“Anytime. Gue seneng liat lo daritadi senyum terus-terusan.”
Jawabnya dengan senyuman yang tak kalah indah.
“Gue suka banget pantai, dari umur 5 tahun sampai detik ini.
Gue emang belum pernah sih merasakan ombak dan sejuknya air asin di tengah
pantai, karena jujur aja gue gak bisa berenang dan gue takut air.” Ujarku malah
bercerita tentang hal lain. Bersama dia, aku merasa menemukan seseorang yang
mampu mendengar apapun yang keluar dari mulutku. Mulai dari hal tidak penting,
hal yang membuatku khawatir, hingga masalah-masalah yang menggangguku, aku
dapat memberitahukannya.
“Terus yang ngebuat lo suka itu apa?” Tanyanya heran.
“Pantai sebagai filosofinya. Gue suka suasananya, suara
ombaknya yang bisa bikin gue lebih tenang, hembusan anginnya yang bikin gue
merasa lebih damai. Pemandangan langitnya yang bisa buat gue merasa takjub.”
Jawabku tersenyum sambil menerawang ke langit yang begitu indah dan terasa
dekat.
“Gue inget banget pertama kali gue suka pantai itu karena
apa, laki-laki pertama yang gue cintai yang membawa gue kesini dan memengaruhi
isi kepala gue.” Ceritaku lagi, tanpa henti. Sudah kubilang bukan, aku tidak
mengerti dia mempunyai magnet kah atau sesuatu hal yang terus memaksaku
berbicara dan bercerita, namun aku memang senyaman itu memberitahunya segala
hal yang berada di kepalaku.
“Laki-laki pertama yang lo cinta?” Tanyanya ragu.
“Bokap gue.” Ujarku mengklarifikasi.
“Beliau orang yang cukup berpengaruh dengan hal-hal yang gue
suka dan tidak suka saat ini. Beliau amat sangat suka pantai, dan berenang,
makanya sering banget ngajak gue ke pantai dulu saat masih kecil.”
“Tapi memang dari kecil gue penakut dan kayaknya sifat cepat
khawatir gue memang sudah ada dari dulu, gue gak pernah mau diajari berenang
atau ikut bokap gue bermain air. Gue takut ketinggian, takut kedalaman, dan
juga takut air. Gabungan yang pantai miliki semua kan?”
Dia terus mendengarkan sambil terus memandangiku yang sedang
asik bercerita.
“Aneh deh. Lo suka pantai, tapi gak suka berenang dan
bermain air. Apa artinya?” Tanyanya heran dengan isi kepalaku.
“Memangnya lo butuh alasan untuk mencintai sesuatu?”
Tanyaku.
“Maksudnya?” Tanyanya balik dengan dahi berkerut.
“Gue punya prinsip sendiri saat mencintai sesuatu atau
seseorang. Hanya karena ada beberapa hal yang bikin gue tidak nyaman dan
membuat gue takut, bukan berarti gue mencintainya dengan kurang. Cinta gak
semain-main itu.” Ujarku dengan jelas.
“Aneh.” Jawabnya datar.
“Kok, aneh sih?” Tanyaku bingung.
“Karena bagi gue gak gitu. Saat gue mencintai sesuatu atau
seseorang, gue mencintai seluruhnya, tanpa sedikitpun cela, tanpa rasa tidak
nyaman ataupun tanpa rasa takut.” Ujarnya menjelaskan.
“Lantas kalau ada sesuatu yang membuat lo tidak nyaman?”
Tanyaku menuntutnya penjelasan.
“Gue bakal berusaha merubah perasaan tidak nyaman itu, gue
sih percaya perasaan cinta bisa menghilangkan dan mengesampingkan perasaan
tidak nyaman itu.” Ujarnya sambil menatap mataku.
“Kalau tiba-tiba ternyata perasaan tidak nyaman itu muncul,
walaupun lo udah berusaha mencintainya, bagaimana?” Tanyaku sambil menantang
tatapan matanya.
“Berarti gue gak cinta lagi. Memangnya lo bisa mencintai
sesuatu atau seseorang tanpa rasa nyaman?” Tanyanya balik tanpa mengalihkan
pandangan.
“Bisa.” Jawabku sambil menghindari tatapannya, lantas
pura-pura memandang ke depan.
“Aneh. Bagi gue kita harus nyaman dulu baru perasaan cinta
akan timbul.”
“Berarti kita bener-bener mempunyai pandangan berbeda ya
dalam hidup.” Ujarku pelan, seperti berbisik.
“Ngomong apa, Nay?” Tanyanya memastikan.
“Nothing.” Aku menoleh sambil tersenyum.
Langit berubah warna, matahari sudah akan tergelincir ke
arah barat. Burung-burung berterbangan dengan bebas di atas langit. Langit
begitu terang dan penuh warna, membuatku tersenyum menatapnya.
“Kita kesana, yuk? Liat sunset dari sana pasti lebih bagus.”
Ajaknya sambil menggandeng tanganku.
Aku mengikuti langkahnya, sambil menggenggam tangannya yang
basah namun begitu membuatku merasa tenang dan damai. Aku menggenggam semakin
erat, dan dia menoleh, sambil tersenyum begitu tulus dan indah.
Kita berjalan menyusuri pantai sambil bergandengan tangan. Suasana
pantai begitu sepi, tidak ada orang yang sedang bersenang-senang, hanya ada
beberapa nelayan yang baru saja selesai menangkap ikan dan akan segera pulang.
Hanya ada kita berdua.
Aku dan dia. Dengan background langit yang begitu berwarna,
juga suara desiran ombak, dan tak lupa angin yang berhembus damai.
“Sunsetnya indah.” Ujarku saat kita berhenti melangkah dan
menatap langit yang sudah berubah warna.
Dia hanya tersenyum, mengangguk, dan tiba-tiba memelukku
dari belakang.
Aku hanya tersenyum, tidak meronta atau merasa keberatan. Jika
ada hal yang bisa aku pilih untuk tinggal selamanya, aku ingin tinggal di
pelukannya. Berada di sela-sela kedua lengannya, memeluk dan dipeluknya sambil
menikmati hari yang terus berjalan.
Tidak ada suara yang terucap. Hanya desiran ombak yang
seolah-seolah bernyanyi, dan hembusan angin yang bersenandung lembut.
Aku begitu menikmati waktu seperti ini. Saat sunset tiba,
dan berada di pelukan laki-laki yang membuatku makin mencintai indahnya suasana
pantai.
“Gue sayang lo, Nay.” Bisiknya pelan dan lembut, namun
begitu yakin.
Aku tersenyum mendengar ucapannya. Air mataku menetes, bukan
karena rasa sedih, namun perasaan bahagia yang begitu meggebu.
“Naya, would you be my girlfriend?” Tanyanya sambil memutar
posisiku, lalu jarinya menghapus air mata di pelupuk mataku, kemudian
menggenggam kedua tanganku dengan begitu erat, seolah-olah tidak ingin
melepaskan, dan ingin selalu menjagaku.
“Ada banyak hal yang lo belum tau tentang gue. Bagaimana
kacaunya pikiran gue, bagaimana gue gampang khawatir terhadap suatu hal. Hidup
gue gak menyenangkan, banyak sisi gelap dalam diri gue, kita akan banyak
berbeda pendapat, gue takut kalau akhirnya lo akan capek ngadepin semua sikap
dan sifat gue. Karena gue bisa melakukan kesalahan nanti, gue bisa ngelakuin
hal-hal bodoh, akan ada sifat gue yang bakalan lo gak suka, sesuatu yang buat
lo gak nyaman. Apa lo bisa menerima itu semua?” Tanyaku penuh nada khawatir.
“Gue sayang lo, Nay. Dan gue akan menerima semua hal itu. Gue
akan berusaha buat terus menjaga perasaan gue untuk lo sama seperti gue akan
selalu ngejagain lo.” Jawabnya meyakinkan.
Aku melepas genggaman tangannya, kemudia berlari pelan, dan
berteriak,
“Tunjukin seberapa besarnya lo gak mau kehilangan gue!”
Dan dia mengejarku dengan sigap dan cepat, seolah-seolah
seperti tidak ingin melepaskanku dan kehilanganku, kemudian dia menangkapku,
memeluk tubuhku dan kita tersenyum bahagia dengan matahari yang akhirnya
benar-benar tenggelam.
Aku memeluknya begitu erat, “I love you.”
“I love you more.”
Dan dengan saksi langit yang sudah gelap, itulah kata
terakhir yang kami ucapkan di tempat ini. Kata yang bisa didengar oleh seluruh
penghuni pantai, dan kemudian dihembuskan oleh angin, dibawanya entah kemana.
Namun yang aku tahu, perasaan cinta ini akan selalu ada di
lubuk hatiku, tak akan berkurang dan tak akan berpindah.
**
17 Maret
2015
Masih di tempat yang sama. Pantai yang sama. Desiran ombak
yang sama. Hembusan angin yang sama. Pemandangan langit yang sama. Dan pasir
coklat yang sama.
Yang berbeda hanyalah keadaan tak seindah dulu kala. Laki-laki
kedua yang membuatku lebih mencintai pantai tak lagi bisa menemani. Dia sudah
menemukan hidup baru, yang sialnya lebih baik tanpa diriku. Dia sudah berjalan
maju lebih dulu, dan tidak bisa memutar arah ataupun berjalan mundur. Aku bukan
lagi tujuannya, bukan lagi rumah yang bisa membuatnya ingin pulang.
Dia sudah menentukan untuk keluar dari kata kita. Yang menyebabkan
tak ada lagi aku dan dia di cerita yang sama.
Aku merenung menatap langit sendirian. Menahan seluruh air
mataku agar tidak mengalir. Mengontrol semua emosiku agar tidak lagi menangis. Dan
merasakan sakit sendirian.
Aku berdiri dan menginjakkan kaki tepat di pasir yang dulu aku
dan dia terakhir kali injakkan.
Sudah 9 bulan berlalu, banyak kenangan indah terukir juga
kenangan pahit yang memberiku banyak pelajaran.
Terkadang hidup selucu ini, waktu begitu cepat berjalan, dan
tiba-tiba saja dalam hitungan hari semuanya berubah dan berkebalikan. Dulu semesta
seolah-olah mendukung, namun kemudian, dengan terencana ingin memisahkan.
Orang yang dulu berjanji bisa menerima malah akhirnya pergi
dan menyalahkan seluruh sikapmu. Orang yang dulu menghapus air matamu kini
malah menjadi penyebab air matamu. Orang yang dulu menjadi alasanmu tertawa dan
bahagia, sekarang menjadi satu alasan mengapa kau menangis di setiap mimpi
burukmu. Hidup kadang selucu itu. Dan seperih itu.
Air mataku terus mengalir tanpa henti, di tempat yang
dulunya aku pernah tertawa begitu bahagia.
“I love you.”
Ucapku masih di tempat yang sama, dan dengan perasaan yang
masih sama. Perbedaannya sekarang tidak ada lagi orang yang membalas ucapan
itu.
But you know what, you will always be the second man I love
after my dad. Always.
Waw! Keren! Ada minat buat sharing ga? Ini ID LINE aku kalo berminat hehe http://line.me/ti/p/YlNG-4zxEN terima kasih.
ReplyDelete