Pages

Saturday, November 16, 2013

Sometimes, Love Isn't Enough (3)

Oh, hai lagi, deh ya!:D Jadi, sebenernya tuh gue mau ngegabungin post-an ini sama cerita sebelumnya. Tapi, rasa-rasanya terlalu panjang. Dibagi menjadi dua aja udah panjang banget, apalagi disatuin. Maka, untuk membuat kalian nyaman membacanya, dan jadi gak bosen, gue pisah aja deh, dan dengan sedikit lebih spesial, because I wrote this with Evan's point of view, but don't judge me, this is my first time writing a man's. So, selamat menikmati isi kepala Evan;)

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------



Evan
            Alice bilang, dia mau izin ke kamarnya untuk membersihkan diri. Padahal, menurut gue, gak mandipun dia tetep cantik. Tapi menurut dia, gak mandi itu tandanya jorok. Jadi disinilah gue sekarang, di meja makan yang suasananya masih sama seperti dulu, hangat dan menenangkan, bersama kedua orang yang sangat gue hormati dan gue kagumi.
Bedanya, saat ini gue merasa canggung dan tidak bisa membuka diri seperti dulu. Karena memang segalanya telah berubah. I had grew up, so does Alice, and every inch of this house.
Gue masih inget di ujung dekat dapur biasanya terpampang akuarium berisi ikan-ikan cantik yang sering gue kasih makan dulu. Sekarang, akuarium itu entah berada di mana.
“Nyari akuarium ya, Van?” Tanya Papa Alice saat menyadari tatapan mata gue ke arah mana.
“Iya, Om. Ikannya pada mati, ya?”
“Ikannya Om pindahin ke ruang kerja. Mana mungkinlah mati, segini Om rajin kasih makan.”
Gue terkejut mendengar jawaban Papanya Alice barusan. Seinget gue, beliau tidak pernah mau tau dengan keadaan ikan saat gue masih tinggal disini. Saat itupun, ikan-ikan dalam akuarium itu gue yang ngisi, yang merawat, dan membersihkannya, ya sekali-kali dibantu Alice, walau dia sering menjerit jijik setiap membersihkan lumut-lumut didalamnya.
Tanpa sadar gue tersenyum mengingat hal itu. Hal yang amat gue rindukan dan ingin gue ulangi saat ini. Dengan keadaan, dan perasaan yang sama saat dulu. Bukan keadaan yang menyiksa batin seperti sekarang.
“Iyaloh, Van, sejak kamu pindah, si Om ini rajin banget ngurusin ikan-ikan kamu. Katanya, biar gak bener-bener kehilangan kamu dari rumah ini.” Ujar Mama Alice menambahkan.
Gue hanya tersenyum dan tersentuh mendengar itu semua. Betapa baik dan sayangnya mereka sama gue, gimana jika suatu saat nanti gue malah mengecewakan dan membuat mereka malu?
Ah, rasanya, setiap memikirkan hal itu, gue makin merasa tersiksa.
Gue hanya mendengarkan obrolan Mama dan Papa Alice, obrolan dan suasana yang selalu gue rindukan setiap gue makan malam sendirian di apartemen.
Sekali-kalipun gue ikut menimpali percakapan atau menjawab saat diberi pertanyaan. Seperti yang gue bilang, keadaannya sudah berubah, dan tidak lagi sama, dan gue gak bisa berpura-pura seolah semuanya masih sama.
Terlalu sulit untuk menyembunyikan segalanya. Setiap kali melakukannya, gue merasa berdosa dan mengutuk diri gue sendiri yang gak tau terimakasih.
“Kamu tinggal disini lagi aja, Van. Sepi banget ini rumah, tante suka merasa kesepian.” Ujar Mama Alice tiba-tiba.
Gue hanya garuk-garuk kepala, bingung mau menjawab apa.
“Si Om sekarang lagi sibuk-sibuknya, mentang-mentang mau pensiun. Alice apalagi, pulang kerumah cuma numpang tidur. Arin di luar kota, jarang pulang. Jadi yagitu deh, tante Cuma ditemani oleh hiburan sinetron.”
Gue hanya tertawa hambar menimpali gurauan yang di ucapkan Mama Alice barusan.
Well, I guess, kalian pasti sedang mengerutkan dahi tentang siapa gue sebenarnya buat mereka, dan apa status gue dirumah ini.
Jadi begini, nyokap Alice ini adalah anak perempuan satu-satunya dari pernikahan kakek gue yang pertama, dan nyokap gue adalah anak tiri perempuan dari pernikahan kakek gue yang kedua. Jadi hubungan nyokap gue dan Alice adalah adik kakak dengan ibu  dan bapak asli yang berbeda. Dan walau mereka bukan kakak beradik yang DNA-nya sama, kedekatannya gak bisa ditandingi oleh siapapun, karena mungkin mereka adalah anak perempuan yang dimiliki kakek saat itu, sisanya hanyalah laki-laki, apalagi selisih umur mereka terbilang tidak terlalu jauh.
Jadi begitulah sedikit silsilah keluarga yang dapat menjelaskan ‘siapa’ gue di rumah ini.
Iya, jadi intinya, gue ini adalah sepupu laki-laki Alice yang sah. Sepupu yang mencintai sepupunya sendiri.
Duh, udah kayak judul ftv ya kisah hidup gue?
Tapi, begitulah kenyataannya, dan ini bukan ftv, karena happy ending gak akan berpihak pada kisah gue dan Alice.
Enough for the story. Let’s go back to the dining room.
“Ohya, Van, mana calon kamu? Kok gak pernah dikenalin?” Tanya Papa Alice benar-benar tanpa basa-basi, yang membuat gue terbatuk-batuk, dan keselek rendang yang baru aja gue lahap semenit lalu.
Mama Alice menyodorkan gue segelas air putih untuk mengurangi batuk-batuk akibat keselek karena rasa syok barusan.
“Nanti ya, Om, kalau calonnya udah ada baru deh saya bawa kesini.” Ujar gue dengan sedikit gurauan.
Papa dan Mama Alice hanya tertawa mendengar jawaban ngawur gue, kemudian kembali melahap apa yang ada di piringnya masing-masing.
Mereka gak tau aja kalau calonnya anak perempuan mereka sendiri.
Yeah, Van, ngimpi aja terus.
Gue kadang suka berfikir, apa jadinya kalau gue dan Alice bukan cucu dari satu kakek yang sama? Apa segalanya bisa menjadi lebih baik? Atau malah bertambah buruk, karena gue gak akan pernah ketemu Alice sama sekali?
Gue gak pernah nemu jawaban dari pertanyaan itu, karena kenyataannya sekarang, gue dan Alice adalah sepupu yang sah, yang gak bisa mempunyai celah untuk bersama da menjalin cinta.
What do I have to blame? Kakek gue yang kenapa doyan banget poligami? Atau malah diri gue sendiri karena tidak bisa mengontrol perasaan gue ke sodara sendiri? Atau malah kami berdua? Karena mengijinkan cerita yang tak seharusnya berjalan ini ada?
Lagi-lagi, gue gak tau.
Semuanya bagaikan mempelajari Matematika murni. Rumit dan gue gak suka Matematika, but I have to deal with it everyday.
Sumpah, ya, rasanya gue pengen banget negoisasi sama Tuhan supaya gue gak punya sepupu kayak Alice, dan minta Tuhan agar menjadikan Alice seutuhnya milik gue.
Yeah, kerjaan gue mimpi terus, ya? Jelas-jelas kenyataannya bertolak belakang. Pahit banget pahit.
Untungnya rendang dan keripik balado pedes yang gue makan ini enak banget.
Gue selalu suka setiap masakan yang dihasilkan dari tangan yang Mama Alice buat, selalu enak, dan bikin ketagihan. Seperti yang selalu gue lakukan saat masih tinggal dirumah ini, gue pasti akan menambah porsi selama persediaan masih ada.
Gue jadi inget zaman kuliah dulu, saat harus ada kelas pagi, Mama Alice pasti sudah menyiapakan segala makanan yang kelezatannya gak bisa ditolak di sekotak tempat makan, karena sudah hafal betul kalau gue akan bangun kesiangan. Ya walau kotak makan itu gue tinggalin dalam mobil, tapi saat gue nyobain satu suap, gue ketagihan, dan gak bisa berhenti untuk menyuap.
Tapi jiwa gue selalu tersentuh dengah hal-hal kecil seperti itu, walau gue hanya sekedar numpang untuk kuliah, Mama dan Papa Alice memperlakukan gue dengan kasih sayang dan penuh perhatian.
Gue jadi malu sendiri kalau keinget betapa durhakanya gue karena backstreet dengan anak perempuannya.
Apa kira-kira reaksi Papa dan Mama Alice jika tau semuanya? Marah-kah? Malu karena pernah mengurus gue? Atau menyesal karena pernah menerima gue tinggal dirumahnya sehingga rasa cinta tumbuh begitu saja diantara keponakan dan anak perempuannya?
Gue cuma berharap, semoga saja, gue gak sebegitu mengecewakan mereka, karena gue sayang mereka dan tidak siap melihat raut wajah kecewa pada keduanya.
Lantas apa yang gue bisa lakuin? Melepas Alice pergi dan mengakhiri kisah cinta haram ini?
I don’t think I’m ready.
But still, will I ever be ready?
Ah, shit, gue paling gak suka saat otak gue udah mikir kemana-mana, Cuma bikin pusing dan menambah kesengsaran saja. I hate this feeling, being the mellow man like Taylor Swift fan boy.
Gue kembali menyuap santapan diatas meja. Seperti yang gue bilang, makanan yang dibuat Mama Alice selalu bikin gue kepingin untuk menyuap lagi, dan lagi. Sama kayak yang lahir dari rahimnya, selalu bikin gue terus ketagihan, untuk mencintainya lagi dan lagi...
Nah, bagus banget, orang yang baru dipikirin langsung aja datang dari tangga atas. Coba setiap hari kayak gini.
Yeah, mimpi aja terus, Van, gratis kok.
Gue seperti mendengar Sassy Friend berbicara dalam kepala gue, dan gue acuhkan saja, kemudian memfokuskan seluruh indra gue terhadap karya terindah yang pernah Tuhan ciptakan.
Have I tell you that she is as pretty as fuck? Gue sampe gak berkedip melihat dia saat menuruni tangga. Kemeja putih dan hot pants jeans yang melekat ditubuhnya benar-benar terasa pas. Tanpa make up dan dengan rambut yang digerai dan sedikit basah menambah keseksian cewek yang namanya gak pernah hilang dalam pikiran gue. Gila, meeeennn! Dia seksi pake banget, sampe mata gue gak berkedip sedikit pun.
Mau gue kasih gambaran seseksi apa dia?
.......................Sorry, problem loading page, because she is mine, and only mine. Ogah banget gue bagi-bagi ke kalian.
Gue hanya tersenyum saat matanya bertemu pandang dengan mata gue. And, I saw her blushing. Damn, man! I just love it when I make her blush.
Alice gak mengeluarkan sepatah katapun, dia hanya langsung duduk di depan gue, sambil tersenyum, dan berbicara sepatah dua patah kata kepada orangtuanya, kemudian menyuapkan nasi ke atas piringnya.
“Ohya, Van, minggu besok kamu free?”
Tatapan  mata gue masih tertuju ke Alice, berusaha memandanginya sewajar mungkin, seolah-olah gue takut kehilangan satu momenpun pada dirinya.
“Evan?” Panggil Papa Alice dengan dahi berkerut.
“Eh, kenapa, Om?” Gue tersadar dan buru-buru mengalihkan pandangan. Tapi, gue bisa merasakan bahwa Alice mengulum senyum di sebrang sana.
“Minggu besok kamu Free?” Papa Alice mengulangi pertanyaannya.
Gue memasang tampang “is thinking right now”. Sebenernya, hari minggu selalu gue luangin untuk ketemu atau sekedar menghabiskan hari bersama Alice jika kami berdua sama-sama tidak ada meeting mendadak, atau deadline yang harus diserahkan pada senin paginya. Dan buat minggu besok, gue dan Alice sama-sama belum ada rencana untuk kemana-kemana. But, I guess, Alice will let me to spend my next Sunday with her father.
“Belum ada jadwal sih, Om. Kemungkinan besar free. Ada apa, Om?”
“Temenin Om nge-golf, bisa? Udah jarang banget nih olahraga, akibat gak ada yang nemenin. Badan rasanya jadi pegel terus.”
Dan selanjutnya, gue mengangguk, dan menerima ajakan Papa Alice. Tanpa sengaja at ague tertuju pada Alice yang juga sedang menatap gue sambil tersenyum sangat manis. Kemudian dia mengangguk. Well, I conclude that as she really let me to.
Aktivitas selanjutnya yang gue lakuin adalah, pura-pura memasang telinga saat Papa Alice berceloteh tentang pertandingan F1 yang gagal dia di tonton di Singapore karena harus mendatangi meeting di kota Medan. Gue hanya pura-pura mengangguk dan berkomentar sedikit, tapi bukannya gue gak tertarik dengan segala hal berbau F1, gue ngefans berat sama F1, gue suka, namun sekarang, ada hal yang lebih gue sukain lebih dari apapun. Yang terlalu sayang jika harus dilewatkan.
Alice.
Perempuan yang mampu membuat gue bertekuk lutut dihadapannya itu pura-pura acuh atas kehadiran gue, Alice sedang asyik menyuap nasi dan mengobrol dengan Mamahnya. She is really a good pretender.
Sementara gue, mana bisa gue pura-pura gue gak cinta mati sama dia? Kalau di ruang makan ini hanya ada gue dan Alice, gue pasti lebih memilih to eat the shit out of her daripada makan rendang yang enak banget ini.
Alice menyadari tatapan mata gue yang benar-benar tertuju kepadanya, dia hanya membalas tatapan gue sekilas, dan pipinya kembali merona. Gue kembali tersenyum bangga.
“Alicia, kamu sudah beri kabar ke Fabian? Tadi dia nanyain kamu terus ke Mama.” Tanya Mama Alice, gue langsung mendongkak saat nama that lucky bastard tertangkap dengan gendang telinga gue.
Awalnya, gue gak terlalu peduli dengan obrolan perempuan di meja ini, namun saat gue mendengar nama that lucky bastard disebut, gue benar-benar mamasang kuping, dan benar-benar mengacuhkan celotehan Papa Alice.
Alice melirik gue sekilas, wajahnya terlihat khawatir dan takut.
Gue pura-pura memalingkan wajah, tapi tetep men-standby kedua telinga.
“Udah kok, Ma. Tadi aku lupa karena keasikan ngobrol sama Dinda.” Jawabnya dengan suara yang amat pelan.
“Kalian lagi berantem?” Tiba-tiba saja Papa Alice bertanya, ikut berpastisipasi dengan topik yang amat membuat gue muak dan kesal. Seriously, right now, I prefer to listen about everything like footbal, F1, atau masalah pekerjaan sekalipun dari mulutnya, daripada mendengar that fucking question.
“Hah? Enggak kok, Pah.” Alice benar-benar risau kelihatannya, dia berkali-kali memandang gue, mungkin ingin memastikan apakah gue mendengar atau tidak. Dan kali ini gue gak memalingkan wajah, gue duduk tegap dan menantang tatapan matanya.
Alice kemudian menundukkan wajah.
“Jangan sering-sering marahan sama calon suami ya, Nak. Gak baik. Kalian harus saling ngertiin satu sama lain, belajar dari sekarang, biar pas hidup bareng gak syok.” Ujar Mama Alice membuat gue terkejut dengan kata-katanya.
Calon suami? What the hell that i’ve just heard?
Sumpah, kali ini, gue berharap banget bahwa pendengaran gue salah.
But, hey, wait, they both getting married? Kenapa Alice gak pernah bilang apa-apa ke gue? Did she just hiding this fucking truth from me?
Yang gue rasain sekarang? Syok, terluka, dan amarah bercampur menjadi satu.
Siapa yang gak syok dan terluka jikalau tiab-tiba mendengar kabar bahwa pacarnya akan menikahi orang lain? Oke, correct that, Alice bukan cuma pacar gue, tapi tetep aja, she has to tell me before, wajar kalau tiba-tiba amarah gue seperti akan meledak.
Seharusnya dia bilang dan sebaiknya dia gak pernah merencanakan pernikahan dengan lelaki lain.
Kenapa juga dia gak bisa?
Dan tiba-tiba gue mendengar suara Sassy Friend di telinga gue. Sialan. I know, she can do anything without my permission, because, I hate to admit this, gue cuma seorang selingkuhan, sekaligus sepupu sahnya. But, at least, she just can’t hurt me this way.
Inikah rasanya saat kata kehilangan sudah berada didepan mata? Sakit dan hancur? Gue seperti merasakan retakan-retakan didasar sana, yang gak pernah gue alamin sebelumnya. Gue seperti merasakan hati gue kebas karena sudah benar-benar hancur dan terluka.
Gue hanya memandang Alice yang menatap gue dengan raut wajah sedih dan merasa bersalah.
Tatapan matanya yang penuh luka membuat hati gue semakin terasa sakit. Gue tau, Alice gak pernah berniat untuk menyakiti atau melakukan semua ini ke gue. Takdir yang salah, atau malah gue sendiri karena sudah tau semuanya akan berakhir luka namun tetap ingin bertahan?
Seperti berjalan di atas pecahan kaca, ya. Gue tau di garis finish sana gue akan merasakan sakit di kaki gue yang berdarah dan luka-luka, tapi yang gue lakukan diperjalanannya malah pura-pura menikmati luka yang begitu perih itu.
Seperti itulah cerita gue dan Alice, seperti berjalan di atas pecahan kaca, tapi kita malah tetap ingin berjalan walau tahu akhirnya akan sama-sama berdarah dan terluka.
Shit. I hate this. Gue benci situasi seperti ini, menjadi sangat lemah karena gak bisa memiliki cewek yang paling gue inginkan.
“Iyaaaa, Ma.” Saat menjawab itu, Alice sama sekali gak mengalihkan pandangannya dari gue. Kami sama-sama saling menatap dengan pandangan yang sama-sama terluka.
“Mama cuma ngingetin. Inget loh, itu calon suami kamu, pria yang akan menemani kamu nantinya, pria yang harus kamu turuti apa katanya,”
Saat Mama Alice berucap seperti itu, rasanya sisa-sisa retakan hati gue tadi benar-benar sudah menjadi pecahan-pecahan yang amat menyedihkan.
“Terus kamu juga jangan pernah lupa buat ngabarin, kasian Fabian sampai khawatir gitu, dan jadi gak konsen kerja.” Tambah Mama Alice.
And do you know what on my mind right now?
I’d rather feeling horny than feeling this pain all over my heart.

1 comment:

  1. It's going to be finish of mine day, however before ending I
    am reading this fantastic piece of writing to increase my know-how.



    Review my web page - grow taller 4 idiots

    ReplyDelete