Masihkah kamu menjadi si kepala batu yang sangat sulit untuk
ditentang? Otakku masih menyimpan dirimu sebaga sosok itu, sosok yang sangat
keras kepala, sosok yang tidak mudah melepaskan apa yang kau cintai, termasuk
aku, saat itu. Mengingat hal itu bagaikan mengerjakan soal matematika 1
ditambah 1, sangat mudah hingga tidak memerlukan banyak energi untuk
mengingatnya, aku ingat sekali, saat kau dengan kerasnya ingin mempertahankanku
walau aku sudah berkali-kali memakimu untuk pergi. Namun, seberapa kalipun aku
mengucapkan kalimat menyakitkan untukmu, nyatanya kau tetap menampakkan wajahmu
kembali di pintu rumahku, dan kembali mengatakan bahwa kau masih mengingikan
aku berada disisimu. Kau marah saat aku menentang keputusan itu, saat aku
memilih untuk mengakhiri segalanya. Kau egois saat itu, karena kau tidak mau
kehilangan aku, namun juga tak bisa memilih antara aku atau perempuan itu. Kau
tetap mempertahankanku walau tahu pada akhirnya takdir akan membuat kita
berpisah, namun kau tidak peduli, kau tetap memelukku, mencegah aku untuk
pergi, hingga saat itu tiba.
Hari di mana segalanya hancur dan berubah..
Sifat kepala batumu hilang, begitu pula dengan ego mu yang
keras. Saat itu mungkin kau terlalu lelah, atau aku yang begitu melewati batas?
Kau tidak lagi menahanku pergi, kau hanya berdiri dengan raut wajah yang pilu
dan tatapan kosong saat aku meminta untuk mengakhiri cerita kita. Kau tidak
lagi memaki untuk membuatku tetap berdiri di depanmu, pun dengan berkata lembut
agar aku tak melangkah pergi. Kau tidak berkata apa-apa, kau hanya mematung,
dan merelakan aku pergi saat itu, dengan hati yang hancur dan tatapan penuh
luka.
Rasanya ingin aku mengulang saat itu dan memperbaiki
segalanya. Seandainya saat itu aku mengalah dan mau menerima, mungkin saat ini
aku akan menulis kisah bahagia kita, bukan menulis cerita perpisahan yang
menyakitkan ini. Seharusnya saat itu aku tidak egois, aku hanya mengingkan
diriku bahagia saat itu, tanpa memikirkan sakit yang akan berada di hatimu
nanti. Ku pikir aku akan bahagia.. namun nyatanya, keegoisanku menghancurkan
segalanya, dan melukai diriku sendiri dan seseorang yang aku cintai.
Namun segalanya sudah terlambat, bukan? Perpisahan itu sudah
terjadi, dan luka itu sudah berada di hati kita masing-masing. Dan nyatanya, aku
tidak bisa memperbaiki kerusakan itu, pecahan kacanya terlalu banyak, dan aku
tidak bisa memperbaikinya, karena menginjak kembali pecahan kaca saat itu hanya
akan membunuh diriku saat ini. Aku tidak ingin terluka lebih dalam lagi.
Cukuplah kepergianmu yang membuat hatiku mati, jangan sampai kenangan masa lalu
menyeretku dan menewaskanku juga.
Aku selalu berfikir, apa yang akan terjadi jika keegoisanku
dan dirimu saat itu tidak saling menginginkan menjadi pemenang. Jika saja saat
itu aku dan kamu bisa saling menahan ego, mungkin saat ini kita akan melakukan
rutinitas yang dulu sering kita lakukan; bercengkrama hingga insomnia mulai
memudar. Aku rindu saat itu, dan aku ingin kembali pada masa itu, masa di mana
kamu masih menjadi orang pertama yang selalu aku butuhkan saat insomnia
menyerang. Namun nyatanya, saat malam ini insomnia datang kembali, kamu tidak
lagi menjadi orang yang bisa aku andalkan, karena memang kamu tidak lagi berada
disini, kamu bukan lagi seseorang itu. Sekarang kamu hanyalah bayangan hitam
yang selalu mengendap-endap masuk ke dalam ruang otakku, dan menyadarkanku akan
segala hal menyakitkan dulu. Karena sekarang tidak ada lagi kamu. Tidak ada
lagi kamu yang akan menemaniku hingga larut malam, dan tidak ada lagi kamu yang
mencintaiku seperti dulu. Aku sudah merusak segalanya, aku mematikan dirimu
yang seperti itu dengan egoku yang menghancurkan seluruh keping dihatimu.
Aku pikir, aku akan baik-baik saja saat aku harus kehilangan
seseorang seperti sebelum-sebelumnya. Tapi ternyata aku salah, semua itu tidak
berlaku bagi kamu. Your emptiness makes me hardly to breath. Aku pikir aku
sudah terbiasa dengan kata perpisahan, tapi saat aku harus berhadapan dengan
perginya dirimu, aku merasakan luka yang amat menyakitkan tepat di dasar
hatiku. Sebelumnya, saat aku harus mengakhiri cerita dengan laki-laki sebelum
kamu, aku tidak pernah meneteskan air mata semili-pun, aku tidak pernah mencoba
untuk menghilangkan bayangan tentang mereka, karena memang mereka sama sekali
tidak pernah berada dalam hidupku, mereka tidak benar-benar aku cintai. Ku
pikir kasusmu juga akan sama seperti mereka, aku tidak perlu khawatir akan
kepergianmu, atau akan menangis semalaman karena tidak sanggup kau tinggal
pergi, lalu dengan mudahnya aku melupakan dan mencari yang baru, dan tanpa
harus meraskan sakit karena kehilangan, namun yang terjadi saat ini, malah
bertolak belakang. You are not as same as them, you are different. Aku memang
tidak menangis semalaman karena kepergianmu, namun menangisi ketiadaanmu hingga
detik ini. Dan melupakanmu ternyata tidak semudah seperti yang kupikirkan,
malah aku hingga tidak sanggup untuk bernafas saat kepergianmu saat itu, dan
aku harus menanggung luka yang begitu perih saat harus menyadari bahwa kehadiranmu
memang sudah tidak lagi ada. Dan sejak kepergianmu, hidup dan duniaku berubah.
Aku bukan lagi aku yang dulu sejak kau tinggal pergi.
Aku tidak utuh lagi tanpa kamu. Aku kehilangan diriku
sendiri sejak kepergianmu. Duniaku berubah seiring dengan bukan kamu lagi yang
menjadi pusat duniaku. Hatiku berubah menjadi kepingan yang menyedihkan sejak
kau tinggal pergi. Kau merampas dan membawa pergi semangatku dan kebahagianku.
Dan ketiadanmu benar-benar membunuhku.
Sometimes I wonder.. why do we have to hurt each other? Why
do we hurt someone we love? Why don’t we just sit and having a great talk and
staring on each other with love in our eyes? Why should our ego ruins
everything we had?
You hurt me. And I hurt you more. Seandainya ego kita tak
sebesar itu, mungkin saat ini tidak akan luka di hati kita masing-masing.
Kenapa kita tidak bisa saja saling mencintai tanpa menimbulkan luka?
Ingin rasanya saat itu aku menahanmu untuk pergi, dan
meminta maaf atas perkataan yang aku yakin begitu menyakiti hatimu. Ingin
rasanya saat itu aku menyuruhmu untuk tetap tinggal dan tidak meninggalkanku,
but then I remember.. You didn’t leave me here, I’m the one who let you go.
Jadi, maafkanlah aku karena itu. Bukan kamu yang mengacaukan
alur cerita kita yang seharusnya bahagia, I’m the one who ruin that. Aku yang
menancapkan pisau itu di tengah-tengah paragraf bahagia cerita kita, aku yang
membunuh sosok kita. And here I’m telling you.. a very late sorry.
Apa yang harus kulakukan untuk membuatmu kembali? Tidak
cukupkah perasaan berasalah yang menggerogoti dasar hatiku ini membawamu
kembali pulang? Pasti tidak, ya? Karena aku tahu, luka yang ku torehkan di
hatimu begitu mematikan, hingga rasanya berjuta kata maaf pun tidak bisa
menyembuhkan.
Orang-orang menganggap bahwa akulah satu-satunya orang yang
tersakiti di cerita ini, tanpa mereka mengetahui cerita yang sebenarnya, karena
memang aku tak sanggup untuk menceritakan kisah pilu itu, aku tak ingin kembali
pada saat-saat harus benar-benar kehilangan dirimu. Karena itu semua terlalu
menyakitkan. Mereka hanya tahu bahwa kau
yang menyakitiku, dan kau lah pelaku utama atas terjadinya kepingan-kepingan
luka di hatiku. Karena saat itu aku marah dan membenci dirimu yang terlalu
egois ingin mendapatkan segalanya, aku marah karena kemudian dengan mudahnya
kau pergi seolah tidak pernah ada cerita di antara kita. Kau melangkahkan kaki
tanpa pernah menengokku yang terluka, kau tidak pernah mengabari atau meminta
maaf atas segala hal yang telah kau perbuat. Kau pergi begitu saja saat itu,
dengan pisau yang kau tancapkan di hatiku, dan tanpa niat untuk mencabutnya
sama sekali.
Tapi, saat itu, aku melupakan bagian tentang kesalahan
diriku sendiri. Aku terlalu menyalahkanmu hingga aku lupa bahwa akulah yang
begitu egois karena ingin memilikimu seutuhnya. Aku melupakan bagian malam itu,
saat aku berteriak marah dan menyuruhmu untuk pergi dan enyah dari hidupku, aku
lupa akan aku yang memintamu untuk mengakhiri cerita kita, dan malah aku yang
menyalahkanmu saat ini, seolah-olah kamulah yang benar-benar meninggalkanku.
Bukan kau yang meninggalkanku, aku yang menyuruhmu pergi, dan wajar saja jika
kau tak pernah mengabariku dan menengok lukaku, karena aku yang tidak menahanmu
saat kepergianmu tiba, aku malah memilih tidur dan berharap lukaku akan sembuh
dengan sendirinya tanpa menyadari bahwa kau disana pun terluka. Dan wajar saja
bila kau tak pernah meminta maaf atas luka yang kau torehkan, karena kau memang
tak bersalah. Karena akulah orang yang menorehkan luka itu sendiri.
I’m sorry for blaming everything on you. If i can turn back
the time, I swear I will never let you go..
But, i guess, it was too late. You already left, and I can’t
do anything just to make you stay.
Semoga kamu menemukan perempuan yang lebih baik lagi, yang
tidak akan pernah mematahkan hatimu karena keegoisannya, dan yang akan
melakukan segala hal hanya untuk membuatmu tetap tinggal.
12 Oktober 2013,
sedang insomnia, dan berharap aku bisa menekan nomor mu di keypadku lagi.
P.S: Maaf untuk keterlambatan tulisan ini, tugas
benar-benar menyita waktu dan hidupku. Namun tetap saja, sesibuk apapun aku
saat ini, kamu akan selalu menjadi seseorang yang selalu aku fikirkan sesaat
sebelum tidur, seseorang yang selamanya masih akan kuinginkan. Well, I’m not going to say too much, I’m just so sorry. I’m
sorry for everything I have done, I’m sorry for blaming you, and I’m sorry for
hurting you. I'm sorry for thinking that I can live without you.
No comments:
Post a Comment