Pages

Saturday, September 14, 2013

It was a mistake


You know you're grateful enough, when everything you want is in your hand.

But what will you do, when suddenly it just disappears? And you can't try to keep it, because it already broke into pieces.

That's what I felt, when I saw a man whom I loved right in front of me.

But, kissed another girl.
What will you do? That question cross on my mind, and I don’t know how to anwer.

I just standing there, watching both of them, and freezing. It's like my tongue is tied by the pain in my heart.

Everything in me is numb, especially deep inside my heart.

Seharusnya hari ini menjadi hari yang paling menggembirakan, detik-detik terakhir berada di penjara, lalu merayakan pesta pembebasan setelah 3tahun dilanda rasa stress yang tak kunjung reda, dan merayakannya bersama orang yang dicinta.

It supposed to be... To be not like this.

Aku hanya berdiri membeku, tidak mampu mengeluarkan kata, pun menggerakan organ tubuhku. Yang bisa ku rasakan hanyalah rasa sakit dan sesak tepat di dasar sana, di ulu hatiku.

Aku terdiam, mencoba untuk menguatkan kakiku untuk berdiri, karena sekarang rasa sakit itu bukan hanya berada di dalam hati, namun sudah tersebar ke seluruh sel dalam tubuhku.

Kerongkonganku terasa perih karena tercekat oleh air mata yang tertahan. Dadaku sesak karena seluruh oksigen tiba-tiba saja menghilang seiring dengan tertangkapnya bayangan laki-laki yang kucintai bersama perempuan itu, yang sedang menikmati kehadiran masing-masing.

Damn it, she was his ex-girlfriend. Is he fucking kidding me?

Entah apa yang ada dipikiran laki-laki itu. Berkali-kali dia mengucapkan kata cinta untukku, berjuta-juta kenangan manis telah ia berikan, dan sekarang, segalanya ia hancurkan begitu saja, tanpa bekas, tak ada yang tersisa, selain luka dan air mata.

Aku ingin berteriak, dan berjalan ke arah mereka berdua, lalu menampar keduanya, namun kaki ini tak kuasa walau hanya sekedar berjalan. Mulut ini tak kuasa untuk berteriak. Hatiku menjadi berantakan dan berdarah saat mata ini menangkap kejadian menyakitkan itu.

"Shit." Perempuan itu menarik dirinya, dan mengutuk entah siapa setelah menyadari kehadiranku yang berdiam diri tepat di depan mereka berdua.

Seharusnya, saat ini, aku sudah menghampiri mereka berdua, dan memaki keduanya, namun yang kulakukan malah bertolak belakang, berlari dan mencoba menyembunyikan luka yang semakin terasa perih.

"Babe, I can explain!" Teriak laki-laki tadi sambil menarik paksa lengan kananku.

"Don't babe me." Ujarku sambil menampik tangannya.

Rasanya ingin aku mengeluarkan air mata yang sedari tadi tertahan.. rasanya ingin sekali aku menangis, menyatakan bahwa semua ini terlalu menyakitkan.

"No, please, listen." Ujarnya setenang mungkin, sambil mencoba menggapai jemari tanganku yang kemudian lagi-lagi aku tampik,

"It was just a misunderstanding. Its not like what you see... Semuanya salah paham, I can explain."

"Which part that was wrong? When you kissed that bitch, and broke your girlfriend's heart? If it was, you're right." Aku menertawai perkataannya barusan. Segampang itukah dia bilang bahwa semuanya hanyalah salah paham? How about my broken heart?

"Babe.. I'm sorry... I'm sorry.." Ujarnya sambil menunjukkan raut wajah yang amat bersalah, aku tidak tahu, apakah itu sungguhan atau hanya kepura-puraan.

"Sorry for what? For kissing your ex?"

"I-i-i-" Laki-laki itu terbata-bata saat mencoba menjelaskan apa yang terjadi. See? He can't explain,

"Why didn't you tell me?" Tanyaku akhirnya.

Kali ini dia terdiam, tidak mampu untuk berkata-kata lagi, mungkin karena terlalu merasa bersalah, atau sedang mengingat-ingat dialog yang seharusnya kali ini ia katakan.

"Kenapa kamu gak bilang kalau kamu masih punya perasaan sama dia? Kenapa kamu harus pura-pura mencintai aku saat hati dan otak kamu masih tertuju pada dia seorang?" Lanjutku, dan dia masih tidak bergeming. Hanya matanya, yang seolah mengatakan he was really sorry.

"Why you did this to me?" Akhirnya semua pertahanan yang sedari tadi aku bangun hancur juga. Air mata kali ini benar-benar menetes tepat di kedua pipiku. Bukti nyata dari luka yang ia torehkan.

Ia hanya menatapku sambil mencoba menghapus air mata yang mengalir, dan lagi-lagi, aku menampik tangannya, kali ini sedikit lebih kasar.

"Listen... I don't know how explain this.. It just-"

"Right. You don't have to explain, because I already knew."

Hening.

Tidak ada kata yang terucap dari bibir kami berdua, hanya mata yang berbicara, yang sama-sama saling terluka.

"Six months.. The beautiful six months have to end up like this? Really?" Tanyaku tersenyum miris.

Apa semuanya memang harus berakhir seperti ini? Hancur dan berantakan? Lantas, apa artinya kisah indah selama enam bulan yang telah terlewat, jika pada akhirnya hanya akan hancur dalam satu malam ini. Apa memang harus berakhir seperti ini? Tidak adakah akhir bahagia untuk ceritaku ini?

Inikah balasan dari perjuanganku selama 6 bulan? Dengan pisau yang ditancapkan tepat di hatiku?

"Why didn't you tell me about the truth? Kalau kamu memang masih sayang sama dia, aku rela, ngelepasin kamu, supaya kamu bahagia, dan gak terikat dengan cinta yang tidak benar-benar kamu inginkan.." Ujarku lagi, menuntutnya sebuah penjelasan.

"Seharusnya kamu bilang.. Supaya tidak ada yang terluka."

"But I guess.. It was too late." Aku langsung terdiam sambil menertawai segalanya diam-diam. Menertawai kegetiran yang harus ku rasakan.

Bunyi retakan di dasar hatiku semakin terdengar nyaring, juga dengan teriakan-teriakan di salam sana yang diiringi dengan isakan.

Aku hanya mendengarkan segalanya, sambil mencoba menguatkan diriku sendiri agar tidak kembali menangis didepan laki-laki yang telah menghancurkan seluruh keping di hatiku.

"Listen.. I'm sorry.. Please.." Ujarnya lagi, dan lagi-lagi dengan kata maaf itu.

Aku hanya menatapnya, dengan luka, dan genangan air mata.

"You have to tell me at least, so you can kiss her as many as you want without break someone else's heart." Jawabku sinis, mencoba untuk mengingatkan memori laki-laki ini tentang apa yang sudah terjadi, dan segalanya tidak akan hanya selesai dengan kata maaf. Sebuah gelas yang dipecahkan tidak akan pernah utuh kembali, walau sudah berkali-kali diucapkan kata maaf.

"No, please, listen, I love you, not her." Jawabnya sambil memegang pundakku paksa, seolah menahanku untuk tidak pergi.

"But you kissed that bitch!" Aku menampik kasar lengannya dan berteriak. Habislah sudah semua kesabaran yang telah aku tahan sejak lama. Semuanya seperti tersendut api begitu saja.

Dia terdiam, raut wajahnya terkejut melihat diriku yang berteriak dan lagi-lagi menangis.

"I can explain.." Ujarnya lembut, sambil menghapus halus air mata dipipiku.

Aku membiarkan saja dirinya menghapus semua air mata yang jatuh, untuk terakhir kalinya. Tak kuasa rasanya diri ini membentak laki-laki didepan mataku, hatiku masih tak rela, karena seberapa besar pun dia menyaktitiku dan menghianatiku, rasa cinta itu tidak akan pernah pudar.

"No, you don't have to. I will never let you to broke my heart again, not for the second time." Ujarku tersenyum, sambil menapik tangannya, dan menghapus air mataku sendiri.

I swear I will never let my self cry for him, not for the twice.

"Sorry..." Lagi-lagi, kata yang amat aku benci keluar dari bibirnya. Memangnya dia pikir, dengan beribu-ribu kata maaf, luka ini bisa sembuh begitu saja? Sebanyak apapun kata maaf yang ia katakan, memori menyakitkan itu masih akan terus membayangiku dan membuatku kembali menangis.

"I'm done with you. Just done." Ujarku akhirnya, mencoba untuk melangkahkan kaki dari pandangannya. Karena jika masih tetap berada disini, semuanya akan semakin sulit, bahkan aku tak yakin apa bisa aku melangkah pergi nantinya. Tatapan matanya membuatku lemah, membuatku tak ingin pergi, dan tetap ingin berada dalam pelukannya.

Tapi kali ini keadaannya sudah berbeda, aku harus segera pergi, agar luka ini tak semakin menjadi.

"No! Listen, it was just a mistake.." teriaknya tegas, sambil memegang lengangku erat, dan dengan tatapan rasa bersalah.

"So was loving you." Jawabku bergetar, karena menahan air mata yang lagi-lagi akan tumpah.

Seharusnya aku sadar lebih awal, bahwa segalanya adalah suatu ke sia-siaan. Mencintai dirinya adalah sebuah kesalahan. I wish I had realize It earlier.. but it was too late, the pain has caught me already.

Lantas, bagaimana jika meninggalkannya juga adalah sebuah kesalahan?

Maka, aku menguatkan hatiku sendiri untuk melangkah pergi. Tidak ada teriakan atau dekapan tangannya lagi yang menahanku untuk pergi, mungkin dia sadar, bahwa semua ini adalah sebuah kesalahan, mungkin memang sudah seharusnya aku dan dia tidak berada dalam cerita yang sama, mungkin memang tidak akan ada kita dalam ceritaku dan dia.

Mungkin memang benar, bahwa mencintainya adalah sebuah kesalahan.

It was all mistakes, by giving him all of my heart, and he just break it away.

But I love doing that mistake as much as the pain in my heart.

There is one question still stuck in my mind, but no one really can answers, even the one who has the highest intelligence.

Why we still loving people who had hurt us the most?

If that was a mistake, then, I swear, I will never be right.

No comments:

Post a Comment