You know
you're grateful enough, when everything you want is in your hand.
But what
will you do, when suddenly it just disappears? And you can't try to keep it,
because it already broke into pieces.
That's what
I felt, when I saw a man whom I loved right in front of me.
But, kissed
another girl.
I just
standing there, watching both of them, and freezing. It's like my tongue is
tied by the pain in my heart.
Everything
in me is numb, especially deep inside my heart.
Seharusnya
hari ini menjadi hari yang paling menggembirakan, detik-detik terakhir berada
di penjara, lalu merayakan pesta pembebasan setelah 3tahun dilanda rasa stress
yang tak kunjung reda, dan merayakannya bersama orang yang dicinta.
It supposed
to be... To be not like this.
Aku hanya
berdiri membeku, tidak mampu mengeluarkan kata, pun menggerakan organ tubuhku.
Yang bisa ku rasakan hanyalah rasa sakit dan sesak tepat di dasar sana, di ulu
hatiku.
Aku terdiam,
mencoba untuk menguatkan kakiku untuk berdiri, karena sekarang rasa sakit itu
bukan hanya berada di dalam hati, namun sudah tersebar ke seluruh sel dalam
tubuhku.
Kerongkonganku
terasa perih karena tercekat oleh air mata yang tertahan. Dadaku sesak karena
seluruh oksigen tiba-tiba saja menghilang seiring dengan tertangkapnya bayangan
laki-laki yang kucintai bersama perempuan itu, yang sedang menikmati kehadiran
masing-masing.
Damn it, she
was his ex-girlfriend. Is he fucking kidding me?
Entah apa
yang ada dipikiran laki-laki itu. Berkali-kali dia mengucapkan kata cinta
untukku, berjuta-juta kenangan manis telah ia berikan, dan sekarang, segalanya
ia hancurkan begitu saja, tanpa bekas, tak ada yang tersisa, selain luka dan
air mata.
Aku ingin
berteriak, dan berjalan ke arah mereka berdua, lalu menampar keduanya, namun
kaki ini tak kuasa walau hanya sekedar berjalan. Mulut ini tak kuasa untuk
berteriak. Hatiku menjadi berantakan dan berdarah saat mata ini menangkap
kejadian menyakitkan itu.
"Shit." Perempuan itu menarik
dirinya, dan mengutuk entah siapa setelah menyadari kehadiranku yang berdiam
diri tepat di depan mereka berdua.
Seharusnya,
saat ini, aku sudah menghampiri mereka berdua, dan memaki keduanya, namun yang
kulakukan malah bertolak belakang, berlari dan mencoba menyembunyikan luka yang
semakin terasa perih.
"Babe,
I can explain!" Teriak laki-laki tadi sambil menarik paksa lengan kananku.
"Don't babe
me." Ujarku sambil menampik tangannya.
Rasanya
ingin aku mengeluarkan air mata yang sedari tadi tertahan.. rasanya ingin
sekali aku menangis, menyatakan bahwa semua ini terlalu menyakitkan.
"No,
please, listen." Ujarnya setenang mungkin, sambil mencoba menggapai jemari
tanganku yang kemudian lagi-lagi aku tampik,
"It was
just a misunderstanding. Its not like what you see... Semuanya salah paham, I
can explain."
"Which
part that was wrong? When you kissed that bitch, and broke your girlfriend's
heart? If it was, you're right." Aku menertawai perkataannya barusan.
Segampang itukah dia bilang bahwa semuanya hanyalah salah paham? How about my
broken heart?
"Babe..
I'm sorry... I'm sorry.." Ujarnya sambil menunjukkan raut wajah yang amat
bersalah, aku tidak tahu, apakah itu sungguhan atau hanya kepura-puraan.
"Sorry
for what? For kissing your ex?"
"I-i-i-"
Laki-laki itu terbata-bata saat mencoba menjelaskan apa yang terjadi. See? He
can't explain,
"Why
didn't you tell me?" Tanyaku akhirnya.
Kali ini dia
terdiam, tidak mampu untuk berkata-kata lagi, mungkin karena terlalu merasa
bersalah, atau sedang mengingat-ingat dialog yang seharusnya kali ini ia
katakan.
"Kenapa
kamu gak bilang kalau kamu masih punya perasaan sama dia? Kenapa kamu harus
pura-pura mencintai aku saat hati dan otak kamu masih tertuju pada dia
seorang?" Lanjutku, dan dia masih tidak bergeming. Hanya matanya, yang
seolah mengatakan he was really sorry.
"Why
you did this to me?" Akhirnya semua pertahanan yang sedari tadi aku bangun
hancur juga. Air mata kali ini benar-benar menetes tepat di kedua pipiku. Bukti
nyata dari luka yang ia torehkan.
Ia hanya
menatapku sambil mencoba menghapus air mata yang mengalir, dan lagi-lagi, aku
menampik tangannya, kali ini sedikit lebih kasar.
"Listen...
I don't know how explain this.. It just-"
"Right.
You don't have to explain, because I already knew."
Hening.
Tidak ada
kata yang terucap dari bibir kami berdua, hanya mata yang berbicara, yang
sama-sama saling terluka.
"Six
months.. The beautiful six months have to end up like this? Really?"
Tanyaku tersenyum miris.
Apa semuanya
memang harus berakhir seperti ini? Hancur dan berantakan? Lantas, apa artinya
kisah indah selama enam bulan yang telah terlewat, jika pada akhirnya hanya
akan hancur dalam satu malam ini. Apa memang harus berakhir seperti ini? Tidak
adakah akhir bahagia untuk ceritaku ini?
Inikah
balasan dari perjuanganku selama 6 bulan? Dengan pisau yang ditancapkan tepat
di hatiku?
"Why didn't
you tell me about the truth? Kalau kamu memang masih sayang sama dia, aku rela,
ngelepasin kamu, supaya kamu bahagia, dan gak terikat dengan cinta yang tidak
benar-benar kamu inginkan.." Ujarku lagi, menuntutnya sebuah penjelasan.
"Seharusnya
kamu bilang.. Supaya tidak ada yang terluka."
"But I
guess.. It was too late." Aku langsung terdiam sambil menertawai segalanya
diam-diam. Menertawai kegetiran yang harus ku rasakan.
Bunyi
retakan di dasar hatiku semakin terdengar nyaring, juga dengan teriakan-teriakan
di salam sana yang diiringi dengan isakan.
Aku hanya
mendengarkan segalanya, sambil mencoba menguatkan diriku sendiri agar tidak
kembali menangis didepan laki-laki yang telah menghancurkan seluruh keping di
hatiku.
"Listen..
I'm sorry.. Please.." Ujarnya lagi, dan lagi-lagi dengan kata maaf itu.
Aku hanya
menatapnya, dengan luka, dan genangan air mata.
"You
have to tell me at least, so you can kiss her as many as you want without break
someone else's heart." Jawabku sinis, mencoba untuk mengingatkan memori
laki-laki ini tentang apa yang sudah terjadi, dan segalanya tidak akan hanya
selesai dengan kata maaf. Sebuah gelas yang dipecahkan tidak akan pernah utuh
kembali, walau sudah berkali-kali diucapkan kata maaf.
"No,
please, listen, I love you, not her." Jawabnya sambil memegang pundakku
paksa, seolah menahanku untuk tidak pergi.
"But
you kissed that bitch!" Aku menampik kasar lengannya dan berteriak.
Habislah sudah semua kesabaran yang telah aku tahan sejak lama. Semuanya
seperti tersendut api begitu saja.
Dia terdiam,
raut wajahnya terkejut melihat diriku yang berteriak dan lagi-lagi menangis.
"I can
explain.." Ujarnya lembut, sambil menghapus halus air mata dipipiku.
Aku
membiarkan saja dirinya menghapus semua air mata yang jatuh, untuk terakhir
kalinya. Tak kuasa rasanya diri ini membentak laki-laki didepan mataku, hatiku
masih tak rela, karena seberapa besar pun dia menyaktitiku dan menghianatiku,
rasa cinta itu tidak akan pernah pudar.
"No,
you don't have to. I will never let you to broke my heart again, not for the second
time." Ujarku tersenyum, sambil menapik tangannya, dan menghapus air
mataku sendiri.
I swear I will
never let my self cry for him, not for the twice.
"Sorry..."
Lagi-lagi, kata yang amat aku benci keluar dari bibirnya. Memangnya dia pikir,
dengan beribu-ribu kata maaf, luka ini bisa sembuh begitu saja? Sebanyak apapun
kata maaf yang ia katakan, memori menyakitkan itu masih akan terus
membayangiku dan membuatku kembali menangis.
"I'm
done with you. Just done." Ujarku akhirnya, mencoba untuk melangkahkan
kaki dari pandangannya. Karena jika masih tetap berada disini, semuanya akan
semakin sulit, bahkan aku tak yakin apa bisa aku melangkah pergi nantinya. Tatapan
matanya membuatku lemah, membuatku tak ingin pergi, dan tetap ingin berada dalam
pelukannya.
Tapi kali
ini keadaannya sudah berbeda, aku harus segera pergi, agar luka ini tak semakin
menjadi.
"No!
Listen, it was just a mistake.." teriaknya tegas, sambil memegang
lengangku erat, dan dengan tatapan rasa bersalah.
"So was
loving you." Jawabku bergetar, karena menahan air mata yang lagi-lagi akan
tumpah.
Seharusnya aku
sadar lebih awal, bahwa segalanya adalah suatu ke sia-siaan. Mencintai dirinya
adalah sebuah kesalahan. I wish I had realize It earlier.. but it was too late,
the pain has caught me already.
Lantas,
bagaimana jika meninggalkannya juga adalah sebuah kesalahan?
Maka, aku menguatkan
hatiku sendiri untuk melangkah pergi. Tidak ada teriakan atau dekapan tangannya
lagi yang menahanku untuk pergi, mungkin dia sadar, bahwa semua ini adalah
sebuah kesalahan, mungkin memang sudah seharusnya aku dan dia tidak berada
dalam cerita yang sama, mungkin memang tidak akan ada kita dalam ceritaku dan
dia.
Mungkin
memang benar, bahwa mencintainya adalah sebuah kesalahan.
It was all
mistakes, by giving him all of my heart, and he just break it away.
But I love
doing that mistake as much as the pain in my heart.
There is one
question still stuck in my mind, but no one really can answers, even the one who
has the highest intelligence.
Why we still
loving people who had hurt us the most?
If that was
a mistake, then, I swear, I will never be right.
No comments:
Post a Comment