Apa yang harus kutulis untuk mengawali segalanya? Sapaan hai
atau pertanyaan apa kabar? Klise sekali rasanya, menyapa dan menanyakan
sesorang yang tak apa pernah menjawabnya, apa gunanya?
Lantas apa yang harus kutulis?
Aku merindukanmu?
Nah, kalau itu rasanya terlalu mencurahkan isi hati sekali,
ya? No, no, no, just forget it. Aku ralat,
anggap saja aku tak pernah mengatakan itu sebelumnya. Karena, lebih baik aku
menanyakan apa kabar yang tidak akan dijawab daripada menyatakan kata rindu
yang akan diabaikan.
Jadi, baiklah, aku tidak akan mengatakan apa-apa untuk
mengawalinya.
Setiap orang yang membaca surat-surat untukmu (yang tak
pernah terbaca) selalu bertanya kepadaku, kenapa aku tetap menulis untuk
seseorang yang tak akan pernah membacanya?
Aku hanya tersenyum simpul dan menjawab, karena ini caraku
untuk memerdekakan rindu, dan mendamaikan hati. Karena lewat tulisanlah aku
mengungkapkan isi hatiku, mencurahkan rindu yang tak akan terbalas untukmu. Karena
setiap bayangan menyakitkan tentang dirimu, hanya kata-lah yang dapat
menenangkanku. Karena lewat kata-lah, aku memerdekakan rindu, membuatnya terbebas, tanpa dibayangi oleh rasa sesak.
Aku akan terus menulis, menulis, dan menulis setiap kata
saat dada ini sesak dipenuhi luka yang engkau torehkan. Kata-lah obat
penyembuhku. Maka dari itu, aku selalu menulis kata, agar hati ini tak terlalu
perih saat mengenangmu.
Jadi, aku mohon, jangan pernah menyuruhku untuk berhenti
menulis segala tentang kamu disini, ya? Karena berhenti menulis sama sulitnya
seperti berhenti mencintaimu.
Aku ragu bisa melakukan keduanya. Karena keduanya, tulisan
dan dirimu, akan selalu berjalan bersisian. Kau bagaikan inspirasi dari segala
tulisanku, mungkin jika kau tidak pernah datang dalam hidupku, dan
menghancurkan hatiku, tulisan-tulisan sedih ini tidak akan pernah ada.
Lalu, apa yang lebih baik? Kedatanganmu yang menorehkan luka
dihatiku juga memberiku inpirasi untuk menulis, atau ketiadaanmu yang akan
membuat hatiku sehat-sehat saja namun membuat tulisan-tulisanku pun tiada.
Aku tidak tahu mana yang lebih baik. Tapi marilah bersyukur,
karena berkat kau dan pisau yang kau tancapkan dihatiku, aku mendapat inpirasi
untuk menulis. Jadi, terimakasih untuk hal itu.
Dan seketika, setelah menulisakan ucapan terimakasih itu,
aku datap mendengar suara tawa mengejek dari boneka-boneka di atas kasurku.
Mereka bilang, aku bodoh karena mengucapkan terimakasih pada
seseorang yang sudah mengacak-ngacak hatiku.
And, yes, they’re right.
Dan aku juga ingat kau sering bilang begitu padaku, akibat
keteledoran yang kulakukan, namun setelahnya kau akan memelukku, dan berkata “jangan
teledor lagi ya.” setelah kau membereskan segala kekacauan yang telah
kuperbuat, tanpa caci maki dan kalimat-kalimat kasar. Kau hanya akan berkata 4
kata itu saja, lalu mencoba mengembalikan moodku karena aku terlalu merasa
bersalah, dan lagi-lagi, kalimat yang keluar dari bibirmu itu menenangkan, kau
bilang, “aku suka kok jadi orang yang selalu ngeberesin masalah yang kamu
bikin, itu bikin kamu gak akan bisa lepas sama aku. Iya kan?” lalu kau
tersenyum, dan kita akan tertawa bersama, melupakan hal buruk yang terjadi
beberapa jam lalu.
Dan kau benar, aku akan selalu terikat dengan kehadiranmu,
selamanya tidak bisa lepas dari bayangmu. Hingga saat ini.
Kau benar sekali waktu
itu, tapi saat itu, aku tak pernah membayangkan akan sesakit ini rasanya.
Dan beginilah takdir untukku akhirnya, kau pergi, dan aku
masih tak bisa lepas dari bayanganmu. Kau
sehat-sehat saja, dan aku terus mencoba mengobati luka dihatiku dengan kata
yang kutulis -yang jelas-jelas tidak akan ada di resep dokter- kau bahagia
akhirnya, dan aku meringis menahan perih tepat didasar hatiku, lalu akan
meneteskan air mata saat aku tak kuasa lagi menahannya.
Kenapa Tuhan harus mempertemukanku dengan seseorang yang
akhirnya hanya akan membuatku menangis?
Kenapa Tuhan harus mempertemukan kita saat itu, jika pada
akhirnya kau akan pergi, dan meninggalkanku dengan membawa hati, semangat, dan
jiwaku, lalu membiarkan aku berperang dengan rasa sakit sendirian?
Aku ingat saat itu, saat aku terisak kencang, kau datang
tepat saat aku tak kuasa berdiri, lalu dengan senyuman manis yang kau punya,
kau menyeka air mataku yang entah keberapa kali sudah terjatuh, lalu memelukku,
dan berbisik bahwa segalanya akan baik-baik saja.
Namun itu dulu, sebelum kau pergi, dan masih menjadi
milikku. Lalu kenyataannya hari ini? Bertolak belakang, kau sudah pergi dan
bukan milikku lagi.
Ouch. Hatiku tiba-tiba menjerit kesakitan saat mendengar
bagian terakhir yang tadi kukatakan, lalu sakitnya beruntun pada kedua mataku
yang tiba-tiba menteskan air mata.
Seandainya masih ada sosokmu disini, mungkin keadaanya tidak
akan semenyakitkan ini, tidak akan ada hatiku yang terluka, dan tidak akan ada
air mata yang jatuh setiap malam akibat terlalu merindukanmu yang telah pergi.
Mengenangmu seperti membuka lembar demi lembar cerita yang menyakitkan.
Ujung-ujungnya hanya akan membuatku menangis dan merobek luka di hatiku semakin
dalam.
Namun, otak ini tak akan pernah berhenti memutar segala hal
tentangmu, begitupun dengan hati ini, yang tak akan pernah berhenti
mencintaimu.
Terkadang, aku berharap aku mengidap amnesia, agar aku dapat
mengenyahkan segala kenangan yang terus menerus menggerogoti hatiku.
Aku ingin sekali bersikap egois, dengan menahanmu disini. Atau
menjadi orang jahat, dengan berharap bahwa kau akan mengalami pedih yang aku
rasakan.
Tapi aku tidak bisa mengucapkan kata amin setelahnya, karena
walau kau telah menyakiti aku sebegitu parahnya, dan meninggalkanku tanpa
ucapan selamat tinggal, lalu hanya memberiku luka pada akhirnya, aku akan tetap
berterimakasih karena kau pernah singgah disini, walalu hanya untuk menorehkan
luka dan pergi pada akhirnya..
Aku akan selalu mengirimmu doa agar bahagia selalu berada disisimu.
5 September 2013, dan
lagi-lagi merindukanmu.
P.S: Handphone-ku hilang tepat pada sore ini, dengan segala
draft novel perdanaku yang belum aku copy ke media lain. Sedih rasanya, kedua
hal yang menjadi penyemangatku hilang, kau, dan tulisan itu. Apa ini maksud
Tuhan agar kau dan aku tak akan pernah bisa berhubungan lagi? Atau mungkin ini
cara Tuhan agar membuatku lupa pada dirimu? Karena kau tahu, di dalam handphone
itu, segalanya tertuju padamu, handphone itu merekam manis dan pahitnya cerita
kita, handphone itu menjadi saksi kebahagianku, juga saksi patah hatiku setelah
kau tinggal pergi. Foto-foto bodoh kita, video tolol saat kita sok meng-cover
lagu, dan pesan singkat sejak awal hingga semuanya hancur masih tersimpan rapi
di memori handphone itu. Dan juga banyak sekali tulisan di Notepad yang menjadi
pelampiasanku saat luka dihatiku terobek kembali karena ingatan tentang dirimu
yang tiba-tiba muncul. Dan sekarang, aku harus kehilangan itu semua, sama
seperti aku harus kehilanganmu. Apa kehilangan memang takdir setiap manusia
didunia ini? Namun, walaupun handphone dan segala saksi tentang cerita kita
sudah lenyap, bayanganmu akan selalu menempati ruang di otakku, juga namamu
yang akan selalu terukir di hatiku. Dan, kamu, berhati-hatilah, supaya
kehilangan tidak tahu keberadaanmu. Berbahagialah selalu, kepala batu.
No comments:
Post a Comment