"Mau?" Ujar lelaki bermata coklat yang sekarang
sedang berdiri didepanku, tersenyum sambil menawariku sebuah es krim
kesukaanku.
"No, thanks." Jawabku kurang antusias, baru kali
ini aku menolak tawaran es krim vanilla yang selalu sukses membuat seluruh bagian
di dalam mulutku menginginkannya.
Dia ikut duduk di sebelahku, dan menatapku dengan tatapan,
"are you serious?", dan tersenyum menantang,
"Oh, come on.. Just forget that fuckin' thing, and
enjoy this." Ujarnya sambil menyendoki es krim vanilla ke dalam mulutnya,
seolah belum puas membuat aku menelan air liurku sendiri, dia menjilat rasa
vanilla yang tersisa di sendoknya.
Dapat kurasakan teriakan dari dalam kerongkonganku saat
mencium aroma es krim vanilla ini. Aku hanya menelan ludah, dan menatap laki-laki
di depanku dengan tatapan lapar; lapar karena menginginkan yang ada di dalam
mulutnya.... Sesendok es krim vanilla.
"Give it one to me!" Akhirnya pertahananku runtuh.
Aku selalu menyerah saat aroma es krim vanilla menyelundup masuk ke dalam
hidungku. Seburuk apapun keadaan yang sedang ku alami, pesona es krim vanilla
tidak bisa membuatku bertahan untuk tidak menyentuh dan mencicipinya. I always
lost when I smell vanilla's. And I always ended by eating it as much as I can
with a big smile on my lips.
"I will. But give me one smile, and I will give it to
you." Ucapnya sambil terus menyendoki es krim vanilla yang sudah
dibayangkan rasa lezatnya oleh lidahku.
Kupaksakan sudut bibirku ditarik ke atas. Hanya agar dia mau
berbagi es krim vanilla itu. Bukan berarti saat tersenyum, luka dihatiku sembuh
begitu saja, keadaannya tak semudah itu.
Dia akhirnya membiarkan tangangku menyuap es krim
vanilla-nya dan menikmatinya dalam rongga mulutku. Dan dia benar, I enjoy
eating this so much.
Dan akhirnya aku tersenyum dengan tanpa paksaan dan tanpa
beban saat merasakan setiap rasa vanilla yang berada dalam mulutku.
Setiap aku memakan es krim vanilla, aku selalu merasa lebih
baik, seburuk apapun keadaan yang sebelumnya aku rasakan. It's like that ice
cream has something special for my mood.
"So, did you feel better?" Tanyanya seusai kami
menghabiskan 1 buah es krim vanilla.
"Yeah.. A little bit." Ujarku masih kurang
antusias. Shit, why I can't forget that fucking thing? Seandainya dengan
melahap es krim vanilla tadi juga dapat menyembuhkan luka, mungkin luka
dihatiku ini akan membaik dan tak semenyakitkan ini rasanya. Tapi, namanya juga
seandainya, yang jelas gak akan pernah terjadi. Mau sebanyak apapun es krim
vanilla yang sudah ku lahap, luka di hatiku akan terus membekas.
"Why are you so curious about thing in the past? Nay,
just life your live now, don't make the past ruin everything you have."
Akhirnya, dia berucapseperti ini juga. Aku tahu, lama kelamaan kata-kata itu
pasti akan keluar dari mulutnya.
Seandainya es krim tadi masih tersisa, aku pasti akan
pura-pura sibuk melahap es krim dan mengalihkan pertanyaan maupun pernyataan
yang keluar dari mulutnya.
"You don't even know what it feels. Yeah, it was over,
but the memories don't. Every moment that just happened were still on my
heart, and it'll always be there." Dan semua itu terucap begitu saja dari
bibirku, membuatku terdiam sesudahnya, karena ternyata, luka yang sudah robek
itu semakin membesar, dan lubang-lubang dalam hatiku semakin menganga lebar.
"Oh, so, do you still have a feeling for that
bastard?" Suaranya meninggi dan menekankan intonasi di bagian kata
terakhirnya.
"I...... I don't know. I want to throw this feeling
away, but.. But I couldn't. The feeling just stick deep in my heart, just like
a tattoo. And also the pain.."
Yeah right, either the feeling or the pain is like a tattoo.
It sticks hard and deep in my already broken heart.
Pernah merasakan hatimu begitu sakit karena mencintainya
begitu dalam? Aku ingat kata seseorang dulu, saat kau mencintai seseorang, luka
yang datang akan sebanding dengan besarnya cinta yang kamu rasakan. Karena,
hanya orang yang paling kau cintalah yang bisa menyakitimu sebegitunya.
"Nay, I know this is hard for you. But he doesn't care
about you at all. He's now already get his new life, and look at yourself, you
still stuck on the past. The story between you and him is already over.. And
you know that it couldn't be started again." Kata-kata Ray bagaikan
alkohol yang dituangkan di atas luka dalam hatiku, membuatnya semakin terasa
perih, pedih, dan menyakitkan.
Aku hanya meringis karena merasakan bunyi-bunyi retakan di
dalam sana; tepatnya di dasar hatiku.
Rasanya seperti ditikam pisau tepat di ulu hatimu saat kau
mencintai seseorang yang seharusnya kau benci. Rasanya memilukan saat kau
mengingat segala sesuatu yang seharusnya kau lupakan.
"I... I know. I just... Give me a time to forget all
about this."
"Sampai kapan?" Pertanyaannya membuatku terdiam.
Aku juga menanyakan hal yang sama pada diriku. Akan sampai kapan aku memelihara
luka yang ia torehkan?
"Gue gak tau." Jawabku akhirnya. Karena memang
begitulah, aku tidak tahu kapan aku mampu menghapusnya namanya benar-benar dari
hatiku. Aku tidak tahu akan sampai kapan semua perih ini akan berakhir... Aku
tidak tahu.
Ada satu pertanyaan yang selalu membayangiku, mengapa saat
hati kita sudah di sakiti sebegitu dalamnya dengan seseorang, semakin kita
merasa tidak bisa menghapusnya dalam hati kita?
Aku selalu bertanya kepada hatiku sendiri, tentang mengapa
hatiku tak mampu menghapus namanya, walau ia telah menorehkan luka yang amat
pedih di tempat namanya berada.
Aku juga selalu bertanya pada otakku, tentang mengapa otakku
masih menyediakan ruang khusus tentang dirinya, kenangan yang harus dilupakan,
juga rasa perih yang pada akhirnya ia berikan.
Dan selalu aku bertanya pada diriku sendiri, tentang mengapa
aku masih mencintainya, saat ia memberi begitu banyak alasan untukku untuk
membencinya.
Dan jawabannya selalu sama; tidak tahu. Hatiku terdiam
mendengar pertanyaan itu, juga otakku, pun dengan diriku, yang parahnya
bukannya menjawab, malah menangis terisak karena lagi-lagi teringat akan
dirinya yang sekarang sudah pergi tanpa jejak.
Tidak ada yang tahu apa jawabannya, semuanya terlalu buram,
pertanyaan ini lebih sulit dari soal fisika.
Karena soal fisika masih memiliki angka yang dapat membuatnya terjawab, tapi pertanyaanku tidak memiliki kode jawaban sama sekali, karena ini tentang perasaan, yang tidak bisa diukur dan didefinisikan dengan sebuah angka.
Karena soal fisika masih memiliki angka yang dapat membuatnya terjawab, tapi pertanyaanku tidak memiliki kode jawaban sama sekali, karena ini tentang perasaan, yang tidak bisa diukur dan didefinisikan dengan sebuah angka.
Is there anyone who has a high intelligence can answer my
question? Please, raise your hand.
Because, the girl who asks you that question is too stupid.
She's stupid because she still loving
someone who has give her many reason to leave.
"Sampai lo kehilangan orang yang sayang sama lo?"
Akhirnya Ray menjawab. Membuatku terdiam sepersekian detik, memutar otak untuk
menjawab pertanyaannya.
Dan jawabannya masih sama,
"I don't know, Ray.."
Aku masih tetap bodoh. Terlalu bodoh malah, karena saat ini
otakku malah berpergian ke waktu satu tahun lalu; tepat saat cerita aku dan
dirinya di mulai.
Aku bodoh karena menyakiti diriku sendiri dengan
mengingatnya.
Everytime I remember him, the memories, and the sad ending
of our story make me sick. Because the more I remember him, the more my heart
feels hurt.
"Kenapa sih lo gak bisa lihat orang yang sayang sama lo
saat ini? Why it's all about that fucking bastard? You have to realize, he
already forget you! Sadar nay! Si brengsek itu udah lupain lo dan ngehapus nama
lo buat selamanya. Sadar!"
Ucapan Ray lagi-lagi membuat hatiku semakin sakit. Membuat
lukaku semakin menganga. Membuat hatiku semakin menjerit kesakitan.
Rasanya keronkongaku seperti tersedat air mata yang
tertahan. Hatiku begitu tertohok karena kalimat-kalimat Ray tadi.
Aku tahu, aku jelas-jelas mengerti, dan 100% sadar bahwa dia
sudah melupakan diriku yang hampir mati karena selalu terbayang-bayang sosok
yang tak pernah sedetikpun memikirikan diriku. I'm sober enough to realize
that.
Tapi apa yang bisa kuperbuat, saat kesadaran itu tidak bisa
menghentikan mengalirnya perasaan sayang untuknya?
Apa yang bisa kuperbuat? Membelah hatiku sendiri, agar
namanya tidak lagi berada disana? Menghancurkan otakku sendiri agar kenangan
tentangnya tidak lagi menghantuiku?
Apa yang bisa kuperbuat untuk mengenyahkan dirinya yang
sekarang tinggal sebuah bayangan? Untuk melupakannya, aku harus menyakiti
diriku sendiri terlebih dahulu, haruskah aku melakukan seperti itu? Haruskah?
Hanya untuk mememerdekakan diriku sendiri dari rasa perih, aku perlu membunuh
diriku sendiri?
"He has a name." Namun, bukan pertanyaan yang
kulontarkan, melainkan 4 kata bodoh yang semakin menyeretku kepada masa lalu.
Membuat lukaku semakin terasa perih.
"Well I don't care."
Aku terdiam mendengar jawaban Ray. Lalu, tersenyum getir,
"Omongan lo menyakitkan. Banget."
Kali ini Ray yang membisu. Tidak ada tanda-tanda dari
bibirnya untuk mengatakan sepatah kata pun.
"But you know, what hurt me the most?" Tanyaku,
yang lagi-lagi hanya mendapat jawaban diam dan tatapan kasihan dari mata lelaki
didepanku sekarang ini.
"The pain in my heart." Ucapku, dan seolah-seolah
suaraku tadi langsung bergema dalam seluruh organ tubuh ini, dan dapat
kurasakan jantungku melemah, dadaku terasa sesak, dan seluruh tubuh melemas,
mungkin mereka semua juga merasakan sakit yang si empunya rasakan. Rasa sakit
yang tepat berada di dasar hatiku, dan merambat ke seluruh tubuhku, membuatnya
semakin terasa menyakitkan.
It's funny. Sakit hati yang entah letaknya berada di sebelah
mana dapat mempengaruhi seluruh sel, jaringan, organ, bahkan keseluruhan dalam
tubuhku.
"Jadi tolong, Ray.. Tolong jangan nambahin luka gue
disini, semuanya sudah terlalu menyakitkan." Lanjutku kemudian, sambil
menunjuk dadaku yang semakin sesak, pusat rasa sakit yang ku rasakan.
"Gue sadar banget kok, Ray, kalau dia udah ngelupain
segala kenangan yang gak bisa gue lupain. Gue sadar secuilpun dia gak pernah
mengingatnya. Dan gue sadar gue bodoh, karena masih berharap dia bakal
ingat.."
"But this is me.. A fool who still stuck on him, when
he already get his new home."
Ray hanya mendengarkan setiap kalimat yang keluar dari
bibirku, dengan tatapan matanya yang langsung menatap diriku.
"Lo gak perlu sadarin gue. Karena gue sadar akan itu
semua. Tapi lo dan gue jelas-jelas tau, sekeras apapun gue mencoba, namanya
bakal terus berada di sini, Ray.." Ucapku sambil lagi-lagi menunjuk
hatiku, tempat di mana segala tentang dirinya masih tersimpan rapi.
"Karena walaupun dia udah norehin luka itu di tempat
namanya berada, semuanya gak akan berubah, segalanya masih sama, walau sekarang
keadaannya udah berubah karena gak ada lagi dia, perasaan gue gak akan ikut
pergi seperti jejak dia."
"Perasaan gue masih sama, gue sayang sama dia.."
Pernyataanku pada akhir kalimat membuatku tertawa miris
dalam hati. Menertawai kebodohanku, karena walau sudah ditorehkan luka sebegitu
dalamnya, perasaan itu tidak lantas begitu hilang, malah semakin berkembang,
dan semakin membuat hatiku meringis perih.
Ray masih terdiam, namun kemudian lengannya langsung memeluk
tubuh mungilku. Memelukku begitu erat, mengelus belakang punggungku, seolah-olah
ingin mentransfer kekuatannya, dan membagi lukaku pada dirinya.
Aku hanya mematung, berdiam pasrah dalam dekapan lengan Ray
yang seolah-olah sedang melindungiku. Membiarkan air mataku mengalir di dada
bidangnya, dan membiarkan dirinya melihat diriku yang begitu rapuh, karena saat
ini, segalanya terlalu sulit untuk disembunyikan, lukanya terlalu menyakitkan untuk
ku tanggung sendirian.
Aku membutuhkan lengan untuk menangkapku saat terjatuh, jari-jari
tangan yang akan menghapus air mataku, tatapan mata yang tulus, dan kedua
telinga yang siap mendengar tentang betapa pedihnya semua ini..
"Dan gue juga sayang sama lo, makanya gue gak mau
ngeliat lo terus-terusan menderita, Nay.. You deserve someone better. You
should be happy... Without him."
Ucapan Ray membuat air mataku semakin deras. Kali ini aku
terisak di dada bidang Ray, mencurahkan segala emosi, rasa sakit, kepedihan,
dan rasa sesak yang sudah ku pendam rapat selama ini.
Seandainya Ray tahu, aku selalu berdoa dan menyisipkan kata bahagia dan dirinya secara berlawanan, karena aku ingin bahagia saat dirinya tak berada di sini lagi. Namun, kenyatannya.. kata bahagia berada dalam garis lurus bersamaan dengan namanya. Karena dialah sumber kebahagiaanku..
Seandainya Ray tahu, aku selalu berdoa dan menyisipkan kata bahagia dan dirinya secara berlawanan, karena aku ingin bahagia saat dirinya tak berada di sini lagi. Namun, kenyatannya.. kata bahagia berada dalam garis lurus bersamaan dengan namanya. Karena dialah sumber kebahagiaanku..
"I know.. You're such a caring friend that I ever had.
I thank you for that.. Thank you for always being here, thank you for being my
ear, thank you for being a very great friend. Thank you." Ucapku tulus
ditengah-tengah isakanku. Air mata semakin deras mengalir seiring dengan
sempurnanya ingatanku tentang kenangan itu, membuatku terseret ke dalam masa
lalu kelam dan menyakitkan.
Aku bodoh, karena saat aku sedang dalam dekapan seseorang,
aku malah mengirim diriku kepada masa lalu yang seharusnya sudah kulupakan.
Ray hanya mengangguk, dan menenangkanku agar tak semakin
terisak,
"But it's not as a friend, Nayla. I love you more than
that." Bisik Ray kemudian ditelingaku, pelan, namun begitu tulus, dan
dapat kurasakan pelukannya semakin mengerat, menandakan kebenaran ucapan Ray tadi.
Isakanku semakin keras, air mata semakin deras mengalir di
pipi dan dada bidang Ray.
Aku hanya terdiam mendengar bisikannya, tidak ada jawaban, dan juga tidak ada penolakan. Aku membiarkan diriku dipeluk erat oleh lengannnya. Namun tidak membiarkan namanya menggantikan nama seseorang yang sudah berada disana, nama yang seharusnya sudah ku hapus.
Aku hanya terdiam mendengar bisikannya, tidak ada jawaban, dan juga tidak ada penolakan. Aku membiarkan diriku dipeluk erat oleh lengannnya. Namun tidak membiarkan namanya menggantikan nama seseorang yang sudah berada disana, nama yang seharusnya sudah ku hapus.
Aku bodoh, karena disaat seperti ini, saat aku sedang
terisak di dada bidang seorang laki-laki yang mencintaiku dengan tulus, otakku
malah melayang pada kenangan tentang dirinya setahun silam, kenangan yang
seharusnya sudah aku lupakan.
Karena, saat ini, tidak ada hati yang bisa kuberikan, karena
hatiku sudah pergi seiring dengan kepergiannya.. dibawa tanpa jejak, dan tanpa
ada niatan untuk dikembalikan, karena dia tidak akan kembali, dan aku tahu itu,
aku sadar akan hal itu.
Namun tetap saja, aku masih menyimpan rasa cinta itu dengan
rapat dan baik dalam dasar hatiku. Aku masih menjaga ukiran nama dirinya dalam
hatiku.
Kamu hebat, Dan. Hebat.. karena walau sekarang kamu tinggal kenangan dan hanya bayangan semu yang dapat ku rasakan, segalanya masih tentang kamu. Hatiku masih tertuju sama kamu, otakku masih terpusat akan segala hal tentang dirimu. Kamu hebat, karena saat ada lengan yang memelukku dengan tulus dan berjanji akan melindungiku, aku malah memikirikan masa lalu, kenangan menyakitkan itu, dan tentang kamu.. kamu yang telah pergi.
Why everything is always about you?
Batinku masih terisak, dan dengan dekapan lengan Ray yang
semakin erat.
No comments:
Post a Comment