"Hey, wake up! Wake up!" Perempuan itu mengguncang badan seorang
laki-laki dibalik selimut, menyuruhnya untuk segera bangun.
Laki-laki itu mengeram, tidak terima mimpi indahnya diganggu oleh guncangan
tangan-oleh siapapun itu-, lalu menarik selimutnya lebih atas, dan terpejam
kembali.
Tapi perempuan itu tidak menyerah, ia terus menerus menyerang dan
mengguncang agar lelaki itu segera bangun dari tidurnya.
"Yaampun, kebo, it's almost 8 a.m. Stop dreaming! And wake up!"
Teriaknya menyerah.
"Apaan sih? It's fucking sunday." Akhirnya, laki-laki itu membuka
matanya, walau setengah sadar.
"Bangun." Jawab perempuan berwajah oval itu sambil tersenyum
manis.
"Kamu kok disini?" Kali ini matanya benar-benar terbuka sadar,
terbelaklah ia karena melihat mimpi indahnya menjadi kenyataan, berada tepat di
depan matanya.
"Did you forget I also have this?" Jawab perempuan itu sambil
mengacungkan sebuah kunci pintu apartemen. Lalu tersenyum meremehkan, oh, dan
juga tidak lupa untuk menggigit bibir bawahnya, menggoda laki-laki yang
tubuhnya masih berada ditempat tidur itu.
"Shit, yeah, right."
"Come on, wake up and go take a bath. You smell like onion." Ujar
perempuan itu mencibir.
"I didn't eat any onion last night, how can I smell like that?"
Jawabanya sambil mengerutkan dahi, dan perempuan itu langsung tertawa.
"Orang baru bangun tidur itu emang fungsi otaknya gak bekerja ya?
Udah, gih, mandi sana."
"I will if you are too." Ujarnya sambil mengedipkan mata.
Dasar laki-laki, disuruh bangun tidur, yang bangun malah apanya, belum
mandi aja sempet-sempetnya flirting gak jelas. Yeah, boys. But girls like that,
no?
Perempuan itu hanya tersenyum mencibir, menggeleng-gelengkan kepala atas
kelakuan laki-laki didepan matanya ini, kemudian tertawa karena sekurang ajar
apapun lelaki di depannya ini, namanya akan selalu mendapat ruang khusus
dihatinya.
"Too bad, but I'm already take a bath, handsome." Jawabnya,
kemudian berlalu, dengan sudut bibir yang terangkat keatas.
Dan laki-laki itu mendengus mendengar jawabannya, namun sejujurnya, hatinya
bersorak ria karena kehadiran perempuan itu menjadikan mimpi indah yang tadi
diganggunya berada jelas-jelas didepan matanya.
**
"So, ada apa kamu pagi-pagi hari minggu gini ngeganggu mimpi
orang?" Laki-laki itu keluar dari kamarnya dengan pakaian santai-namun
sangat menawan-di mata seseorang yang sekarang melihatnya- kaos hitam polos dan
celana bahan Marks and Spancer, membuat otot-otot badannya terlihat begitu pas
dan membuat setiap perempuan yang melihatnya harus menahan diri. Rambut ikal
pendeknya hanya ia sisir sekilas, membuatnya terlihat berantakan, dan seksi
secara bersamaan.
"Stop staring, and fucking answer my question." Ujarnya lagi
sambil tersenyum mengejek.
"What? I'm not." Jawab perempuan itu dengan rona merah di kedua
pipinya.
"Really? But you're blushing, babe." Seolah belum puas, laki-laki
itu kembali menggodanya.
"Yeah, whatever." Ujar perempuan itu kembali merona, dan
berpura-pura memusatkan perhatiannya pada televisi di depannya.
"Jadi tujuan kamu kesini cuma mau numpang nonton tv doang, ya?"
Tanya laki-laki itu lagi, sambil mendekatkan dirinya dengan tubuh perempuan
mungil itu.
"Mau ngapain lagi coba? Kalau gak nonton tv, paling ujung-ujungnya
digangguin kamu." Jawabnya sambil memutar bola mata, pura-pura bersikap
marah; padahal hatinya sedang menari-nari karena rasa rindunya sudah
dimerdekakan. Berhari-hari perempuan itu menunggu hanya untuk merasakan bau
parfum maskulin kesukaannya. And those day she waited worth it. She can smells
her favorite perfume all the time right here, with him beside her.
"Loh, memangnya kamu gak suka aku gangguin?" Ia tersenyum
mencibir, seolah dengan menganggu perempuan mungil disebelahnya itu dapat
membuatnya bahagia. Dan memang seperti itu, melihat perempuan disebelahnya
tersenyum dan merona karena dirinya adalah sumber kebahagiaan. Karena
setidaknya, hanya dia seorang yang dapat berbuat seperti itu kepada sosok
perempuan mungil ini.
Perempuan itu tidak menanggapi komentar mencibir yang keluar dari bibir
seksi laki-laki disebelahnya. Ia kembali memusatkan matanya pada televisi, tapi
berkali-kali ia mencoba fokus, ekor matanya tetap saja mencuri-curi pandang
terhadap wajah dengan garis-garis keras yang begitu sangat ia rindukan.
"You are caught out staring me again, babe." Lagi-lagi, komentar
yang keluar dari bibir laki-laki itu membuat pipinya merah merona.
"I love it when you're blushing. It's sexy." Ujarlnya lagi.
Kalimat-kalimat yang keluar dari bibir laki-laki itu selalu sukses membuat pipi
perempuan disebelahnya merona hebat.
"Shut up, Evan." Jawab perempuan itu tegas, namun dia bukanlah
artis professional, raut bahagianya tidak akan pernah bisa ia sembunyikan.
"Lock it with your mouth, maybe?" Tanya Evan sambil mengedipkan
mata.
"Ewh, disgusting!" Lagi-lagi pipi perempuan itu merona, dan lagi-lagi
pula, jantung berdebar kencang, dan hatinya dipenuhi oleh bunga-bunga indah
yang sedang bermekaran. Ia berusaha menghindar, dan melangkahkan kakinya ke
arah dapur, berharap laki-laki itu tidak mendengar suara jantungnya yang
berdebar.
**
"Oh, tujuan kamu kesini bukan cuma mau numpang nonton doang, ya? Tapi
juga nyolong dan ngabisin stock es krim orang?" Celetuk Evan saat melihat
Alice-nama perempuan yang dari tadi bersamanya- membawa satu kotak es krim Ben
& Jerry dari freezernya.
"Tadi aku mau nyari soda, trus gak sengaja liat ini. How can I deny
this fucking delicious ice cream? It's like the ice cream told me to eat every
pieces in it, it's too tempted to be denied." Jawab Alice
dilebai-lebaikan. Sejujurnya, tadi dia tidak mencari soda atau apapun, ia hanya
membutuhkan hal yang dapat membantunya menghindari flirting-fliritng nista Evan
di pagi hari ini. Apalagi, dengan mata seduktifnya setiap kali laki-laki itu
bicara, belum lagi bibir penuhnya-yang kata orang, tipikal bibir seorang best
kisser- yang menggiurkan setiap kali dia tersenyum menggoda. Mana mungkin ia
tahan duduk disampingnya dengan segala hal yang membuat imannya goyah? It's
fucking hard!
"Meh.. Yeah.. Like the ice cream can speak." Ujar Evan sarkastik.
"You know, what, van? Blame the ice cream which teased me!" Alice
mengerutkan dahinya, tanda dia tak suka dengan ucapan Evan barusan. Tapi, bodo
amat, yang penting es krim Ben & Jerry itu sekarang ada dalam genggaman
tangannya, milik ia sepenuhnya! Dan akan ia habiskan sendirian, tanpa Evan.
Laki-laki itu tidak boleh mencicipi es krim itu barang setetespun, walau
sebenernya es krim ini dibeli oleh kocek Evan sendiri, tapi tetap saja, ucapan
sarkatis Evan tadi membuat Alice sebal.
Tapi, sebal dengan seseorang bukan berarti menghilangkan rasa cinta
untuknya, bukan?:)
Alice kembali memfokuskan matanya pada televisi, pura-pura acuh pada
kehadiran Evan, dan melahap es krim dalam genggaman tangannya sendirian. Blod
this line; pura-pura. Itu artinya ia masih saja berusaha mencuri-curi pandang, dan
tentu saja tanpa sepengetahuan laki-laki itu:)
"Get your hands off from mine." Ujar Alice tiba-tiba saat Evan
ingin menyendokkan sesuap es krim untuk memasuki mulutnya. Boro-boro udah
ngambil, baru nyelupin sendoknya aja sudah di wanti-wanti oleh Alice.
"Apa-apaan....?" Tanya Evan sebal saat tangannya yang baru ingin
menyendok sesuap es krim ditangkis oleh Alice.
"Hukuman buat orang sarkatis." Jawab Alice tak kalah sebal,
sambil menikmati es krim dalam rongga mulutnya, sesekali ia menjilat sisa-sisa
es krim di sudut bibirnya.
"Fine, then." Ujar Evan sebal, sebal karena tidak boleh mencicipi
es krim sedikitipun, dan juga sebal karena gestur Alice yang tadi menjilat
sisa-sisa es krim di bibirnya.
Tapi tiba-tiba ia tersenyum sembunyi-sembunyi. Ada rencana dalam kepalanya
untuk lagi-lagi membuat Alice akan bertekuk kalah dan menyesali perbuatannya
barusan. Ia melihat Alice sekilas yang sedang menggodanya dengan es krim itu,
dan tersenyum bangga karena ide brilian di kepalanya.
**
Alice merasa menang dan berada di atas awang, ia mampu membuat Evan sebal
dan kesal, membuat ego laki-lakinya merasa tersakiti. Karena jarang-jarang juga
dia menganggu Evan, biasanya Evan yang selalu menggangunya, dan membuatnya
SELALU kalah telak karena Evan SELALU punya cara agar Alice tunduk akan
pesonanya.
Alice kembali menikmati es krimnya, merasakan nikmatnya dalam rongga-rongga
mulutnya, dan seolah tidak ingin melewatkan secuilpun, ia menjilat sisa-sisa es
krim dari bibirnya, sejujurnya, bukan karna itu sih, Evan pernah bilang bahwa
dia sebal sekali setiap melihat Alice menjilat atau menggigit bibir mungilnya
didepan mata laki-laki itu. Dan saat ini, ia tidak tanggung-tanggung membuat
Evan sebal.
Alice tersenyum karena hal itu, karena dia yakin 100%, ego Evan pasti
sedang sebal karena dipermainkan seperti ini. Dasar laki-laki. Ego aja
digedein.
Kembali ia memfokuskan pikirannya pada rasa es krim yang begitu nikmat ini,
membuat lidahnya mengerjap kenikmatan.
Tiba-tiba ia merasakan hembusan nafas Evan di lehernya, dan lebih dekat
lagi, lebih dekat lagi, yang sekarang terasa di sudut bibirnya.
Alice baru sadar saat merasakan bibir laki-laki itu sudah melumat seluruh
bagian mulutnya, belum lagi dengan lidah yang tiba-tiba langsung mengekploitasi
rongga mulutnya yang berusaha melahap es krim.
Perempuan itu tidak bergeming, terlalu terkejut dengan ini semua, dia tidak
membalas, pun menghentikan bibir lelaki itu di bibirnya. Es krim yang tadi
dilahapnya masih terasa penuh dalam mulutnya, ditambah pula dengan lidah Evan
yang menjilat dan merasakan kenikmatan bibirnya sekaligus es krim dalam
mulutnya.
This is fucking too much, batin Alice sambil berusaha menelan sisa-sisa es
krim di mulutnya, dan mengacuhkan lidah Evan di dalamnya.
"Stop eating, I'm trying to kiss you, babydoll." Tapi ternyata,
caranya tidak ampuh, Evan hanya menjauh sebentar untuk menyuruhnya berhenti
menelan es krim di mulutnya. Kemudian kembali memagut bibirnya dengan bibir
mungil perempuan itu.
"Stop kissing me! I'm trying to eat!" Alice tidak mau kalah,
bukannya berhenti, ia malah menyuapi satu suap es krim lagi ke dalam mulutnya.
Menantang laki-laki itu.
"Fine, then keep eating!" Evan menarik wajahnya sebentar, sambil
menatapnya dengan tatapan, "you will lose, trust me." kemudian
kembali melumat bibir Alice, sekarang lebih bersemangat dan lebih sensual. He
lick every pieces in her. Everything.
Alice tersedak dengan lumatan Evan yang membara dan secara tiba-tiba. Dan
pertahanannya goyah, tatapan Evan benar, dia akan selalu kalah, dan Evan akan
selalu menjadi pemenang. Sekeras apapun usaha yang Alice lakukan,
ujung-ujungnya ia akan bertekuk lutut pada Evan,
"Stop it!" Rintih Alice pelan, dan mendorong dada Evan,
menyuruhnya untuk menjauh.
"Punishment for the girl who trying to teased me." Evan
membiarkan padutan bibir mereka terlepas. Sudah cukup puas dirinya melihat
Alice kalah telak, dan tekulas lemas jatuh dalam pesonanya.
"Pardon?" Alice mengernyitkan dahi, dan mencoba menarik udara
yang tadi hilang karena ciuman Evan barusan.
"You told me not to eat any pieces of that fucking delicious ice
cream, right? But you show me how much delicious the ice cream, and don't
forget with the lick of the lips, babe. So, I'm trying to eat from your
mouth." Ujar Evan panjang lebar.
"And it tastes more delicious." Dan Evan tersenyum menyeringai,
membuat Alice semakin kalah telak. That smirk.. that fucking smirk.. which
Alice loves.
"Gahz! It's not like that." Alice terkejut karena penjelasan Evan
barusan. Ini sih namanya jadi senjata makan tuan!
Otaknya menari-nari, seolah-olah saat bibirnya dipagut oleh bibir Evan,
otaknya pergi dan sembunyi karena tidak ingin melihat 'pertunjukkan' mereka
berdua.
Alice masih terkejut, belum benar-benar bisa mencerna apa yang sebenernya
terjadi. Yang jelas, yang dia ingat hanyalah lembutnya bibir Evan di bibirnya,
dan nikmatnya rasa es krim yang masih tersisa di rongga mulutnya.
Alice menggigit bibir. And, damn, bibir Evan masih terasa jelas di
bibirnya. Dan jantungnya makin berdebar kencang, 'kejutan' yang diberikan Evan
tadi benar-benar membuatnya terjekut, membuatnya pusing kepayang dan tak bisa
bernapas karena 'permainan' Evan yang tiba-tiba tadi. Bibir Evan benar-benar
sudah 'menelan' habis seluruh akal sehat dan imannya....
Napas Alice tidak teratur, seolah bibir Evan tadi mengambil segalanya dari
dalam mulutnya. Dadanya sesak, bukan karena sakit, namun karena terlalu banyak
kejutan yang mengagetkan ditambah dengan rasa bahagia yang bertumpuk.
Lagi-lagi, semua ini karena bibir Evan. Bibir yang membuatnya kecanduan. Shit.
Why it's all about his fucking sexy lips? Alice benar-benar mengutuk isi
otaknya.
"You can take them all. It's all yours." Ujar Alice kemudian,
memberi Evan kotak Ben & Jerry yang tinggal setengah, tanda dia benar-benar
menyerah, dan menyatakan kalah.
Raut wajah Evan benar-benar seperti seorang pemenang yang bahagia. Ia
tersenyum puas dan tertawa dalam hati karena melihat Alice yang mabuk kepayang,
dan itu semua karena dirinya.
Evan benar-benar merasa puas, karena ia memiliki segala kontrol dalam diri
Alice,
"No thanks. I think, I prefer eat it from your sexy mouth rather than
from that fucking box." Jawab Evan sambil (lagi-lagi) tersenyum menggoda.
Dan lagi-lagi, udara tiba-tiba menghilang dari paru-paru Alice, membuatnya
kembali susah bernafas.
**
Evan benar-benar...... membuatnya kehilangan seluruh kendali akan dirinya.
Padahal kejadian yang mengejutkan itu sudah berlalu 30 menit yang lalu, tapi
akal sehatnya masih belum kembali, napasnya belum kembali normal, dan bibirnya
masih sering ia gigit seiring dengan puzzle-puzzle kejadian tadi terbentuk
sempurna di dalam kepalanya.
Alice kembali memfokuskan matanya pada televisi. Sejujurnya, dia tidak
menyimak apapun yang ada di televisi, ia terus menerus mengganti channel,
mencari acara tv yang bisa membuat otakknya lupa akan kejadian barusan, namun
tetap saja, walau matanya tertuju tepat pada televisi, otaknya masih terbang
pada kejadian 30 menit yang lalu.
Sementara itu, pria disampingnya, yang lembut bibirnya masih
terbayang-terbayang di memori otak Alice, sedang tersenyum, bukan tersenyum
mengejek atau mencibir seperti sebelumnya, tapi senyum tulus bahagia karena
dapat menggengam kehadiran Alice kembali di tangannya.
Evan rindu akan kehadiran Alice, lembut telapak tangannya, manis bibirnya,
pipi merah meronanya, mata teduhnya, raut wajah sebal setiap ia menggangunya,
dan terutama suara renyah tawanya. Betapa ingin ia memeluk Alice dan tak akan
pernah melepasnya. Seandainya semuanya semudah itu. Tapi takdir seperti ibu
tiri bagi Evan, ia kejam dan membiarkan bahagia dan hidup Evan saling tolak
menolak.
"I miss you so, Al. I'm glad that you're here now." Ujar Evan
ditelinga Alice. Ungkapannya benar-benar tulus dari hati yang sekarang sedikit
berantakan karena teringat takdir yang akan Evan dan Alice dapatkan nanti.
"Kamu tau perasaan aku saat melihat kamu tadi pagi tiba-tiba berada
tepat di depan mataku? Rasanya seperti melihat mimpi indahku menjadi
nyata." Ungkapan Evan memang membuatnya bahagia setengah mati, namun juga benar-benar
membuat hati Alice perih, karena teringat akan akhir cerita mereka berdua
nanti. Ia dapat merasakan hatinya menjerit, luka yang dulu sekarang terbuka
kembali.
"Isn't it too over for a man like you?" Ujar Alice mencoba
mengalihkan perasaan buruk dihatinya. Suasanya seperti ini terlalu sulit.
Waktunya dengan Evan tidaklah banyak, dan dia tak ingin menghabiskannya dengan
kesedihan dan air mata.
"I don't care. I just want you to know how much I miss you."
Jawab Evan sambil menatap mata Alice. Rasanya dunia Alice saat ini sedang
jungkir balik. Ia bahagia, karena dapat menatap mata teduh itu sekarang,
sekaligus sedih, karena cepat atau lambat tatapan itu akan menghilang seiring
berjalannya waktu.
"So, please, don't leave me, don't ever leave for someone else.
Promise?" Ucapan Evan bagaikan duri yang langsung menancap ke ulu hatinya,
membuatnya terasa sakit, hingga kerongkongannya serak menahan tangis.
Kalian pernah bahagia sekaligus merasa sedih dalam waktu bersamaan? Bahagia
karena kehadirannya; sekaligus sedih karena dirimu tahu kehadirannya hanyalah
sementara, karena pada waktunya, dia akan pergi, dan meninggalkan dirimu hanya
dengan luka dan kenangan yang menyesakkan.
"K-k-kamu tau, aku gak bisa menjanjikan apa-apa, terutama janji
seperti itu, kan?" Jawab Alice terbata-bata, menguatkan diri untuk tidak
mengeluarkan setetes air mata.
"Karena laki-laki itu? Can you switched him off your mind for a
while?" Dan kali ini, dada Alice terasa begitu sesak, bukan karena penuh
oleh rasa bahagia, namun karena tatapan perih dari laki-laki yang amat ia
cintai.
"And look at me, dan jangan pernah memikirkan siapapun lagi selain
aku. Karena saat ini, disini, yang bersama kamu itu aku, bukan tunanganmu yang
tidak kamu cintai itu." Ujar Evan dengan tatapan mata yang begitu amat
menyakitkan. Belum pernah Alice melihatnya sehancur ini. Matanya dipenuhi oleh
beban yang selama ini ia berikan. Seharusnya Alice tahu itu, sekuat-kuatnya
Evan, suatu saat dia pasti akan berada pada titik terlemahnya.
Udara lagi-lagi tidak bersahabat dengan dirinya, meninggalkan paru-parunya
begitu saja, dan hanya meninggalkan sesak di dada. Alice begitu amat menyukai
mata teduh Evan, namun sekarang, all she can see in his eyes is pain. The pain
that she tore away....
"Van.."
"I just trying to tell the truth." Ujar Evan sambil menahan
amarah.
"Oh, apa sekarang kamu udah mulai mencintai that lucky bastard?"
Tanyanya lagi sambil tertawa terpaksa. Menertawai dirinya sendiri yang begitu lemah
dan tidak bisa memperjuangkan apa yang paling ia inginkan di dunia ini;
perempuan di sebalahnya. Karena takdirpun tak mendukungnya untuk mengejar
impiannya.
"Dia punya nama, van."
"I don't give a fuck."
Alice terdiam. Belum pernah dia melihat Evan semarah ini,
"Bisa gak setiap kita ketemu gak usah ada nama dia dalam topik
pembahasan? I just want have a best day with you without any fight,
please?" Dan kali ini air matanya benar-benar tumpah. Satu sentakan Evan
tadi membuat pertahanannya makin melemah.
Tatapan Evan makin terasa menusuk hati Alice, sseolah-olah Alice dapat
melihat jelas kawah luka dalam diri Evan.
"Sorry.. I-I-I'm just afraid of losing you." Tutur Evan tulus.
Rasa bersalahnya langsung menggerotinya seiring dengan menetesnya hujan di mata
Alice.
"Tell me that I will never losing you, can you?" Ujar Evan lagi,
membuat Alice ingin memeluknya dan mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja,
bahwa dia akan selalu berada disisi Evan untuk selamanya, bahwa dia dan Evan
akan mendapatkan kebahagiaan pada akhirnya.
Tapi semuanya tidak semudah itu... Sometimes, love isn't enough.
"Van.. Kita berdua tahu, akhir bahagia bukanlah untuk kita."
Keduanya terdiam, keduanya sama-sama tahu itu. They both already know the
ending of their story; it's not happy ending as in the novel they usually read.
Keduanya sama-sama menyadari bahwa selamanya tidak akan ada 'kita' di
cerita mereka berdua. Kebahagiaan dan mereka berdua tidak ditulis berdampingan,
melainkan terpisah dan tidak akan memiliki titik temu. Akhir cerita mereka
bukanlah novel-novel yang selalu berbanding lurus dengan akhir bahagia, akhir
cerita mereka adalah tentang kenyataan yang selalu berbanding terbalik dengan
kebahagiaan.
Karena, terkadang, cinta saja tidak cukup untuk menyatukan kedua insan yang
sedang dilanda asmara. Mereka punya cinta, tapi tidak dengan takdir yang
mendukung, dan waktu yang membiarkan mereka selalu bersama. Takdir memaksa
mereka untuk berpisah nantinya walau cinta masih berada tepat di hati keduanya.
Waktu akan membuat mereka saling menyakiti pada akhirnya. Dan keadaan akan
membuat keduanya harus menulis cerita baru; yang didalamnya tidak ada lagi nama
mereka berdua. Cerita mereka harus terpisah, agar keduanya dapat sama-sama
bahagia. Karena saat mereka menulis cerita bersama, hanya kepedihanlah yang
akan menemani keduanya. Karena mereka memang tidak di takdirkan untuk bersama.
Tidak ada daftar masa depan untuk keduanya. Akhir bahagia bukanlah untuk
mereka.
"I love.. you, eventhough everything in this world tell me not to. I
love you, and I really do." Ujar Evan sambil memeluk tubuh mungil
perempuan yang dicintainya.
Walaupun akhir bahagia bukanlah untuk mereka, takdir melarang keduanya
untuk memiliki cerita indah bersama, dan waktu akan memisahkan mereka pada
akhirnya, biarlah, biarlah saat ini mereka saling memeluk erat, mengatakan kata
cinta sebanyak-sebanyaknya, dan menikmati kehadiran satu sama lain yang tidak
akan mereka miliki kelak..
Karena mereka bukanlah tokoh novel yang akan memiliki akhir bahagia, mereka
hanyalah dua insan yang saling mencintai, namun masa depan bukanlah tempat
untuk cinta keduanya. Because, sometimes, love isn't enough.
28 Agustus
2013, ditulis saat besok akan diadakan kuis fisika.
We are a bunch of volunteers and starting a brand new scheme in our
ReplyDeletecommunity. Your site provided us with valuable info to work on. You've performed
a formidable task and our entire community might be grateful to you.
Feel free to visit my weblog; Arung Jeram Bogor