Pages

Wednesday, August 28, 2013

Sometimes, love isn't enough.


"Hey, wake up! Wake up!" Perempuan itu mengguncang badan seorang laki-laki dibalik selimut, menyuruhnya untuk segera bangun.
Laki-laki itu mengeram, tidak terima mimpi indahnya diganggu oleh guncangan tangan-oleh siapapun itu-, lalu menarik selimutnya lebih atas, dan terpejam kembali.
Tapi perempuan itu tidak menyerah, ia terus menerus menyerang dan mengguncang agar lelaki itu segera bangun dari tidurnya.
"Yaampun, kebo, it's almost 8 a.m. Stop dreaming! And wake up!" Teriaknya menyerah.
"Apaan sih? It's fucking sunday." Akhirnya, laki-laki itu membuka matanya, walau setengah sadar.
"Bangun." Jawab perempuan berwajah oval itu sambil tersenyum manis.
"Kamu kok disini?" Kali ini matanya benar-benar terbuka sadar, terbelaklah ia karena melihat mimpi indahnya menjadi kenyataan, berada tepat di depan matanya.
"Did you forget I also have this?" Jawab perempuan itu sambil mengacungkan sebuah kunci pintu apartemen. Lalu tersenyum meremehkan, oh, dan juga tidak lupa untuk menggigit bibir bawahnya, menggoda laki-laki yang tubuhnya masih berada ditempat tidur itu.
"Shit, yeah, right."
"Come on, wake up and go take a bath. You smell like onion." Ujar perempuan itu mencibir.
"I didn't eat any onion last night, how can I smell like that?" Jawabanya sambil mengerutkan dahi, dan perempuan itu langsung tertawa.
"Orang baru bangun tidur itu emang fungsi otaknya gak bekerja ya? Udah, gih, mandi sana."
"I will if you are too." Ujarnya sambil mengedipkan mata.
Dasar laki-laki, disuruh bangun tidur, yang bangun malah apanya, belum mandi aja sempet-sempetnya flirting gak jelas. Yeah, boys. But girls like that, no?
Perempuan itu hanya tersenyum mencibir, menggeleng-gelengkan kepala atas kelakuan laki-laki didepan matanya ini, kemudian tertawa karena sekurang ajar apapun lelaki di depannya ini, namanya akan selalu mendapat ruang khusus dihatinya.
"Too bad, but I'm already take a bath, handsome." Jawabnya, kemudian berlalu, dengan sudut bibir yang terangkat keatas.
Dan laki-laki itu mendengus mendengar jawabannya, namun sejujurnya, hatinya bersorak ria karena kehadiran perempuan itu menjadikan mimpi indah yang tadi diganggunya berada jelas-jelas didepan matanya.

**


"So, ada apa kamu pagi-pagi hari minggu gini ngeganggu mimpi orang?" Laki-laki itu keluar dari kamarnya dengan pakaian santai-namun sangat menawan-di mata seseorang yang sekarang melihatnya- kaos hitam polos dan celana bahan Marks and Spancer, membuat otot-otot badannya terlihat begitu pas dan membuat setiap perempuan yang melihatnya harus menahan diri. Rambut ikal pendeknya hanya ia sisir sekilas, membuatnya terlihat berantakan, dan seksi secara bersamaan.
"Stop staring, and fucking answer my question." Ujarnya lagi sambil tersenyum mengejek.
"What? I'm not." Jawab perempuan itu dengan rona merah di kedua pipinya.
"Really? But you're blushing, babe." Seolah belum puas, laki-laki itu kembali menggodanya.
"Yeah, whatever." Ujar perempuan itu kembali merona, dan berpura-pura memusatkan perhatiannya pada televisi di depannya.
"Jadi tujuan kamu kesini cuma mau numpang nonton tv doang, ya?" Tanya laki-laki itu lagi, sambil mendekatkan dirinya dengan tubuh perempuan mungil itu.
"Mau ngapain lagi coba? Kalau gak nonton tv, paling ujung-ujungnya digangguin kamu." Jawabnya sambil memutar bola mata, pura-pura bersikap marah; padahal hatinya sedang menari-nari karena rasa rindunya sudah dimerdekakan. Berhari-hari perempuan itu menunggu hanya untuk merasakan bau parfum maskulin kesukaannya. And those day she waited worth it. She can smells her favorite perfume all the time right here, with him beside her.
"Loh, memangnya kamu gak suka aku gangguin?" Ia tersenyum mencibir, seolah dengan menganggu perempuan mungil disebelahnya itu dapat membuatnya bahagia. Dan memang seperti itu, melihat perempuan disebelahnya tersenyum dan merona karena dirinya adalah sumber kebahagiaan. Karena setidaknya, hanya dia seorang yang dapat berbuat seperti itu kepada sosok perempuan mungil ini.
Perempuan itu tidak menanggapi komentar mencibir yang keluar dari bibir seksi laki-laki disebelahnya. Ia kembali memusatkan matanya pada televisi, tapi berkali-kali ia mencoba fokus, ekor matanya tetap saja mencuri-curi pandang terhadap wajah dengan garis-garis keras yang begitu sangat ia rindukan.
"You are caught out staring me again, babe." Lagi-lagi, komentar yang keluar dari bibir laki-laki itu membuat pipinya merah merona.
"I love it when you're blushing. It's sexy." Ujarlnya lagi. Kalimat-kalimat yang keluar dari bibir laki-laki itu selalu sukses membuat pipi perempuan disebelahnya merona hebat.
"Shut up, Evan." Jawab perempuan itu tegas, namun dia bukanlah artis professional, raut bahagianya tidak akan pernah bisa ia sembunyikan.
"Lock it with your mouth, maybe?" Tanya Evan sambil mengedipkan mata.
"Ewh, disgusting!" Lagi-lagi pipi perempuan itu merona, dan lagi-lagi pula, jantung berdebar kencang, dan hatinya dipenuhi oleh bunga-bunga indah yang sedang bermekaran. Ia berusaha menghindar, dan melangkahkan kakinya ke arah dapur, berharap laki-laki itu tidak mendengar suara jantungnya yang berdebar.

**

"Oh, tujuan kamu kesini bukan cuma mau numpang nonton doang, ya? Tapi juga nyolong dan ngabisin stock es krim orang?" Celetuk Evan saat melihat Alice-nama perempuan yang dari tadi bersamanya- membawa satu kotak es krim Ben & Jerry dari freezernya.
"Tadi aku mau nyari soda, trus gak sengaja liat ini. How can I deny this fucking delicious ice cream? It's like the ice cream told me to eat every pieces in it, it's too tempted to be denied." Jawab Alice dilebai-lebaikan. Sejujurnya, tadi dia tidak mencari soda atau apapun, ia hanya membutuhkan hal yang dapat membantunya menghindari flirting-fliritng nista Evan di pagi hari ini. Apalagi, dengan mata seduktifnya setiap kali laki-laki itu bicara, belum lagi bibir penuhnya-yang kata orang, tipikal bibir seorang best kisser- yang menggiurkan setiap kali dia tersenyum menggoda. Mana mungkin ia tahan duduk disampingnya dengan segala hal yang membuat imannya goyah? It's fucking hard!
"Meh.. Yeah.. Like the ice cream can speak." Ujar Evan sarkastik.
"You know, what, van? Blame the ice cream which teased me!" Alice mengerutkan dahinya, tanda dia tak suka dengan ucapan Evan barusan. Tapi, bodo amat, yang penting es krim Ben & Jerry itu sekarang ada dalam genggaman tangannya, milik ia sepenuhnya! Dan akan ia habiskan sendirian, tanpa Evan. Laki-laki itu tidak boleh mencicipi es krim itu barang setetespun, walau sebenernya es krim ini dibeli oleh kocek Evan sendiri, tapi tetap saja, ucapan sarkatis Evan tadi membuat Alice sebal.
Tapi, sebal dengan seseorang bukan berarti menghilangkan rasa cinta untuknya, bukan?:)
Alice kembali memfokuskan matanya pada televisi, pura-pura acuh pada kehadiran Evan, dan melahap es krim dalam genggaman tangannya sendirian. Blod this line; pura-pura. Itu artinya ia masih saja berusaha mencuri-curi pandang, dan tentu saja tanpa sepengetahuan laki-laki itu:)
"Get your hands off from mine." Ujar Alice tiba-tiba saat Evan ingin menyendokkan sesuap es krim untuk memasuki mulutnya. Boro-boro udah ngambil, baru nyelupin sendoknya aja sudah di wanti-wanti oleh Alice.
"Apa-apaan....?" Tanya Evan sebal saat tangannya yang baru ingin menyendok sesuap es krim ditangkis oleh Alice.
"Hukuman buat orang sarkatis." Jawab Alice tak kalah sebal, sambil menikmati es krim dalam rongga mulutnya, sesekali ia menjilat sisa-sisa es krim di sudut bibirnya.
"Fine, then." Ujar Evan sebal, sebal karena tidak boleh mencicipi es krim sedikitipun, dan juga sebal karena gestur Alice yang tadi menjilat sisa-sisa es krim di bibirnya.
Tapi tiba-tiba ia tersenyum sembunyi-sembunyi. Ada rencana dalam kepalanya untuk lagi-lagi membuat Alice akan bertekuk kalah dan menyesali perbuatannya barusan. Ia melihat Alice sekilas yang sedang menggodanya dengan es krim itu, dan tersenyum bangga karena ide brilian di kepalanya.

**

Alice merasa menang dan berada di atas awang, ia mampu membuat Evan sebal dan kesal, membuat ego laki-lakinya merasa tersakiti. Karena jarang-jarang juga dia menganggu Evan, biasanya Evan yang selalu menggangunya, dan membuatnya SELALU kalah telak karena Evan SELALU punya cara agar Alice tunduk akan pesonanya.
Alice kembali menikmati es krimnya, merasakan nikmatnya dalam rongga-rongga mulutnya, dan seolah tidak ingin melewatkan secuilpun, ia menjilat sisa-sisa es krim dari bibirnya, sejujurnya, bukan karna itu sih, Evan pernah bilang bahwa dia sebal sekali setiap melihat Alice menjilat atau menggigit bibir mungilnya didepan mata laki-laki itu. Dan saat ini, ia tidak tanggung-tanggung membuat Evan sebal.
Alice tersenyum karena hal itu, karena dia yakin 100%, ego Evan pasti sedang sebal karena dipermainkan seperti ini. Dasar laki-laki. Ego aja digedein.
Kembali ia memfokuskan pikirannya pada rasa es krim yang begitu nikmat ini, membuat lidahnya mengerjap kenikmatan.
Tiba-tiba ia merasakan hembusan nafas Evan di lehernya, dan lebih dekat lagi, lebih dekat lagi, yang sekarang terasa di sudut bibirnya.
Alice baru sadar saat merasakan bibir laki-laki itu sudah melumat seluruh bagian mulutnya, belum lagi dengan lidah yang tiba-tiba langsung mengekploitasi rongga mulutnya yang berusaha melahap es krim.
Perempuan itu tidak bergeming, terlalu terkejut dengan ini semua, dia tidak membalas, pun menghentikan bibir lelaki itu di bibirnya. Es krim yang tadi dilahapnya masih terasa penuh dalam mulutnya, ditambah pula dengan lidah Evan yang menjilat dan merasakan kenikmatan bibirnya sekaligus es krim dalam mulutnya.
This is fucking too much, batin Alice sambil berusaha menelan sisa-sisa es krim di mulutnya, dan mengacuhkan lidah Evan di dalamnya.
"Stop eating, I'm trying to kiss you, babydoll." Tapi ternyata, caranya tidak ampuh, Evan hanya menjauh sebentar untuk menyuruhnya berhenti menelan es krim di mulutnya. Kemudian kembali memagut bibirnya dengan bibir mungil perempuan itu.
"Stop kissing me! I'm trying to eat!" Alice tidak mau kalah, bukannya berhenti, ia malah menyuapi satu suap es krim lagi ke dalam mulutnya. Menantang laki-laki itu.
"Fine, then keep eating!" Evan menarik wajahnya sebentar, sambil menatapnya dengan tatapan, "you will lose, trust me." kemudian kembali melumat bibir Alice, sekarang lebih bersemangat dan lebih sensual. He lick every pieces in her. Everything.
Alice tersedak dengan lumatan Evan yang membara dan secara tiba-tiba. Dan pertahanannya goyah, tatapan Evan benar, dia akan selalu kalah, dan Evan akan selalu menjadi pemenang. Sekeras apapun usaha yang Alice lakukan, ujung-ujungnya ia akan bertekuk lutut pada Evan,
"Stop it!" Rintih Alice pelan, dan mendorong dada Evan, menyuruhnya untuk menjauh.
"Punishment for the girl who trying to teased me." Evan membiarkan padutan bibir mereka terlepas. Sudah cukup puas dirinya melihat Alice kalah telak, dan tekulas lemas jatuh dalam pesonanya.
"Pardon?" Alice mengernyitkan dahi, dan mencoba menarik udara yang tadi hilang karena ciuman Evan barusan.
"You told me not to eat any pieces of that fucking delicious ice cream, right? But you show me how much delicious the ice cream, and don't forget with the lick of the lips, babe. So, I'm trying to eat from your mouth." Ujar Evan panjang lebar.
"And it tastes more delicious." Dan Evan tersenyum menyeringai, membuat Alice semakin kalah telak. That smirk.. that fucking smirk.. which Alice loves.
"Gahz! It's not like that." Alice terkejut karena penjelasan Evan barusan. Ini sih namanya jadi senjata makan tuan!
Otaknya menari-nari, seolah-olah saat bibirnya dipagut oleh bibir Evan, otaknya pergi dan sembunyi karena tidak ingin melihat 'pertunjukkan' mereka berdua.
Alice masih terkejut, belum benar-benar bisa mencerna apa yang sebenernya terjadi. Yang jelas, yang dia ingat hanyalah lembutnya bibir Evan di bibirnya, dan nikmatnya rasa es krim yang masih tersisa di rongga mulutnya.
Alice menggigit bibir. And, damn, bibir Evan masih terasa jelas di bibirnya. Dan jantungnya makin berdebar kencang, 'kejutan' yang diberikan Evan tadi benar-benar membuatnya terjekut, membuatnya pusing kepayang dan tak bisa bernapas karena 'permainan' Evan yang tiba-tiba tadi. Bibir Evan benar-benar sudah 'menelan' habis seluruh akal sehat dan imannya....
Napas Alice tidak teratur, seolah bibir Evan tadi mengambil segalanya dari dalam mulutnya. Dadanya sesak, bukan karena sakit, namun karena terlalu banyak kejutan yang mengagetkan ditambah dengan rasa bahagia yang bertumpuk. Lagi-lagi, semua ini karena bibir Evan. Bibir yang membuatnya kecanduan. Shit. Why it's all about his fucking sexy lips? Alice benar-benar mengutuk isi otaknya.
"You can take them all. It's all yours." Ujar Alice kemudian, memberi Evan kotak Ben & Jerry yang tinggal setengah, tanda dia benar-benar menyerah, dan menyatakan kalah.
Raut wajah Evan benar-benar seperti seorang pemenang yang bahagia. Ia tersenyum puas dan tertawa dalam hati karena melihat Alice yang mabuk kepayang, dan itu semua karena dirinya.
Evan benar-benar merasa puas, karena ia memiliki segala kontrol dalam diri Alice,
"No thanks. I think, I prefer eat it from your sexy mouth rather than from that fucking box." Jawab Evan sambil (lagi-lagi) tersenyum menggoda.
Dan lagi-lagi, udara tiba-tiba menghilang dari paru-paru Alice, membuatnya kembali susah bernafas.

**

Evan benar-benar...... membuatnya kehilangan seluruh kendali akan dirinya. Padahal kejadian yang mengejutkan itu sudah berlalu 30 menit yang lalu, tapi akal sehatnya masih belum kembali, napasnya belum kembali normal, dan bibirnya masih sering ia gigit seiring dengan puzzle-puzzle kejadian tadi terbentuk sempurna di dalam kepalanya.
Alice kembali memfokuskan matanya pada televisi. Sejujurnya, dia tidak menyimak apapun yang ada di televisi, ia terus menerus mengganti channel, mencari acara tv yang bisa membuat otakknya lupa akan kejadian barusan, namun tetap saja, walau matanya tertuju tepat pada televisi, otaknya masih terbang pada kejadian 30 menit yang lalu.
Sementara itu, pria disampingnya, yang lembut bibirnya masih terbayang-terbayang di memori otak Alice, sedang tersenyum, bukan tersenyum mengejek atau mencibir seperti sebelumnya, tapi senyum tulus bahagia karena dapat menggengam kehadiran Alice kembali di tangannya.
Evan rindu akan kehadiran Alice, lembut telapak tangannya, manis bibirnya, pipi merah meronanya, mata teduhnya, raut wajah sebal setiap ia menggangunya, dan terutama suara renyah tawanya. Betapa ingin ia memeluk Alice dan tak akan pernah melepasnya. Seandainya semuanya semudah itu. Tapi takdir seperti ibu tiri bagi Evan, ia kejam dan membiarkan bahagia dan hidup Evan saling tolak menolak.              
"I miss you so, Al. I'm glad that you're here now." Ujar Evan ditelinga Alice. Ungkapannya benar-benar tulus dari hati yang sekarang sedikit berantakan karena teringat takdir yang akan Evan dan Alice dapatkan nanti.
"Kamu tau perasaan aku saat melihat kamu tadi pagi tiba-tiba berada tepat di depan mataku? Rasanya seperti melihat mimpi indahku menjadi nyata." Ungkapan Evan memang membuatnya bahagia setengah mati, namun juga benar-benar membuat hati Alice perih, karena teringat akan akhir cerita mereka berdua nanti. Ia dapat merasakan hatinya menjerit, luka yang dulu sekarang terbuka kembali.
"Isn't it too over for a man like you?" Ujar Alice mencoba mengalihkan perasaan buruk dihatinya. Suasanya seperti ini terlalu sulit. Waktunya dengan Evan tidaklah banyak, dan dia tak ingin menghabiskannya dengan kesedihan dan air mata.
"I don't care. I just want you to know how much I miss you." Jawab Evan sambil menatap mata Alice. Rasanya dunia Alice saat ini sedang jungkir balik. Ia bahagia, karena dapat menatap mata teduh itu sekarang, sekaligus sedih, karena cepat atau lambat tatapan itu akan menghilang seiring berjalannya waktu.
"So, please, don't leave me, don't ever leave for someone else. Promise?" Ucapan Evan bagaikan duri yang langsung menancap ke ulu hatinya, membuatnya terasa sakit, hingga kerongkongannya serak menahan tangis.
Kalian pernah bahagia sekaligus merasa sedih dalam waktu bersamaan? Bahagia karena kehadirannya; sekaligus sedih karena dirimu tahu kehadirannya hanyalah sementara, karena pada waktunya, dia akan pergi, dan meninggalkan dirimu hanya dengan luka dan kenangan yang menyesakkan.
"K-k-kamu tau, aku gak bisa menjanjikan apa-apa, terutama janji seperti itu, kan?" Jawab Alice terbata-bata, menguatkan diri untuk tidak mengeluarkan setetes air mata.
"Karena laki-laki itu? Can you switched him off your mind for a while?" Dan kali ini, dada Alice terasa begitu sesak, bukan karena penuh oleh rasa bahagia, namun karena tatapan perih dari laki-laki yang amat ia cintai.
"And look at me, dan jangan pernah memikirkan siapapun lagi selain aku. Karena saat ini, disini, yang bersama kamu itu aku, bukan tunanganmu yang tidak kamu cintai itu." Ujar Evan dengan tatapan mata yang begitu amat menyakitkan. Belum pernah Alice melihatnya sehancur ini. Matanya dipenuhi oleh beban yang selama ini ia berikan. Seharusnya Alice tahu itu, sekuat-kuatnya Evan, suatu saat dia pasti akan berada pada titik terlemahnya.
Udara lagi-lagi tidak bersahabat dengan dirinya, meninggalkan paru-parunya begitu saja, dan hanya meninggalkan sesak di dada. Alice begitu amat menyukai mata teduh Evan, namun sekarang, all she can see in his eyes is pain. The pain that she tore away....
"Van.."
"I just trying to tell the truth." Ujar Evan sambil menahan amarah.
"Oh, apa sekarang kamu udah mulai mencintai that lucky bastard?" Tanyanya lagi sambil tertawa terpaksa. Menertawai dirinya sendiri yang begitu lemah dan tidak bisa memperjuangkan apa yang paling ia inginkan di dunia ini; perempuan di sebalahnya. Karena takdirpun tak mendukungnya untuk mengejar impiannya.
"Dia punya nama, van."
"I don't give a fuck."
Alice terdiam. Belum pernah dia melihat Evan semarah ini,
"Bisa gak setiap kita ketemu gak usah ada nama dia dalam topik pembahasan? I just want have a best day with you without any fight, please?" Dan kali ini air matanya benar-benar tumpah. Satu sentakan Evan tadi membuat pertahanannya makin melemah.
Tatapan Evan makin terasa menusuk hati Alice, sseolah-olah Alice dapat melihat jelas kawah luka dalam diri Evan.
"Sorry.. I-I-I'm just afraid of losing you." Tutur Evan tulus. Rasa bersalahnya langsung menggerotinya seiring dengan menetesnya hujan di mata Alice.
"Tell me that I will never losing you, can you?" Ujar Evan lagi, membuat Alice ingin memeluknya dan mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja, bahwa dia akan selalu berada disisi Evan untuk selamanya, bahwa dia dan Evan akan mendapatkan kebahagiaan pada akhirnya.
Tapi semuanya tidak semudah itu... Sometimes, love isn't enough.
"Van.. Kita berdua tahu, akhir bahagia bukanlah untuk kita."
Keduanya terdiam, keduanya sama-sama tahu itu. They both already know the ending of their story; it's not happy ending as in the novel they usually read.
Keduanya sama-sama menyadari bahwa selamanya tidak akan ada 'kita' di cerita mereka berdua. Kebahagiaan dan mereka berdua tidak ditulis berdampingan, melainkan terpisah dan tidak akan memiliki titik temu. Akhir cerita mereka bukanlah novel-novel yang selalu berbanding lurus dengan akhir bahagia, akhir cerita mereka adalah tentang kenyataan yang selalu berbanding terbalik dengan kebahagiaan.
Karena, terkadang, cinta saja tidak cukup untuk menyatukan kedua insan yang sedang dilanda asmara. Mereka punya cinta, tapi tidak dengan takdir yang mendukung, dan waktu yang membiarkan mereka selalu bersama. Takdir memaksa mereka untuk berpisah nantinya walau cinta masih berada tepat di hati keduanya. Waktu akan membuat mereka saling menyakiti pada akhirnya. Dan keadaan akan membuat keduanya harus menulis cerita baru; yang didalamnya tidak ada lagi nama mereka berdua. Cerita mereka harus terpisah, agar keduanya dapat sama-sama bahagia. Karena saat mereka menulis cerita bersama, hanya kepedihanlah yang akan menemani keduanya. Karena mereka memang tidak di takdirkan untuk bersama. Tidak ada daftar masa depan untuk keduanya. Akhir bahagia bukanlah untuk mereka.
"I love.. you, eventhough everything in this world tell me not to. I love you, and I really do." Ujar Evan sambil memeluk tubuh mungil perempuan yang dicintainya.
Walaupun akhir bahagia bukanlah untuk mereka, takdir melarang keduanya untuk memiliki cerita indah bersama, dan waktu akan memisahkan mereka pada akhirnya, biarlah, biarlah saat ini mereka saling memeluk erat, mengatakan kata cinta sebanyak-sebanyaknya, dan menikmati kehadiran satu sama lain yang tidak akan mereka miliki kelak..
Karena mereka bukanlah tokoh novel yang akan memiliki akhir bahagia, mereka hanyalah dua insan yang saling mencintai, namun masa depan bukanlah tempat untuk cinta keduanya. Because, sometimes, love isn't enough.

28 Agustus 2013, ditulis saat besok akan diadakan kuis fisika.


1 comment:

  1. We are a bunch of volunteers and starting a brand new scheme in our
    community. Your site provided us with valuable info to work on. You've performed
    a formidable task and our entire community might be grateful to you.


    Feel free to visit my weblog; Arung Jeram Bogor

    ReplyDelete