Pages

Saturday, April 15, 2017

After all this time,

credit: nadya ajlina



Someone once told me,
They may not exactly remember what you said,
But they will never forget how you made them feel.
Maybe this is why,
I am still drowning back to the idea of you.
Cause you made me feel loved,
Then worthless at the same time.
You gave me joys when you said hello,
Then sadness when you never ever said goodbye.
You teach me happiness and despair,
You gave me a mix of feelings,
That I wish I could just throw away.
And after all this time,
After one year of pains,
You are still the one I hope in my hopelessness.

Thursday, October 6, 2016

I am sorry for writing this, Dad

Daddy,
I met this man who is older than me here in a new city I live in,
He looks just like you,
He acts like you do,
He even likes to tell me bedtime story just like you were,
The difference is, the story somehow feels deeper and it touches my soul.

Daddy,
He also likes to read book,
He talks about a poet and philosopher,
He talks just like you.

Daddy,
He said he also loves to write,
He even wrote me a poem!
He wrote me a letter,
He confronts me the world that I almost left behind.

Daddy,
I am sorry,
I replace yours and mom’s kiss with his lips on 14th of December,
But I am glad that my first went so passionate just like I always dreamed of,
I am sorry,
I cant no longer remember how warm your hug is,
I found tranquility on his arm,
I love his scent which is the combination of tobacco and his sweet sweats,
Just like you.

Daddy,
I never known that a man could drive me this crazy,
I feel weaken and weaken around him,
I feel like, I will dispose myself just to make him stay,
Daddy, tell me,
Is this love that everyone talks about?

Daddy!
I feel his hands,
Around my body,
Between a part of me that you said shouldn’t be touched by anyone but me.
Daddy,
I am so scared,
I feel so guilty,
I cant deny it because how if he will mad then leave me?
Daddy,
Is this lust that everyone fear?

Daddy,
I am sorry,
I did it.
I am sorry,
I did it with the man who is not loving me back.
I thought I was making love, dad,
But he just called it having fun.

Daddy,
He is no longer come,
I thought he was busy with his life,
But then I know that he finished playing his game.
Daddy,
I was only his game,
While I thought he was my muse.
I was only a young girl he is done playing,
While I had given him my everything.


Daddy,
I feel my soul has left me as I lose his presence in my used-to-be-beautiful-day,
I feel only a void that surrounds me,
I feel a big hole inside me,
I feel so empty in the midnight,
I can’t shut my eyes off,
His absence haunted me even in my sleep,
His memories were killing me in my dream.
Daddy,
He used telling me a story before we go to bed,
He used to be a magnificent sleep-partner in my night,
He used to be my bidder nightmare.
Daddy,
I could hear his voice inside my head in my sleep,
I could feel his hand around my body in my dream,
But I only feel nightmare when I wake up.
Daddy,
Is this heartbreak that makes everyone’s life miserable?

Daddy,
I understand why it was so hard for you to let me go back then,
I remember how you stared at me that day,
I know your fear, daddy,
I know it. And I understand it now.

Daddy,
I am sorry for writing this because I know this will only break your heart,
Daddy,
I am sorry for disappoint you,
I am sorry I can’t be like Mom,
I am sorry for giving it to the wrong person.
Daddy, I am really sorry,
But I am so broken,
I feel so anxious, depressed, worthless, and useless.
Daddy,
Please,
There is no one that could love me as you do,
Please,
There is no one here, daddy.
Please,
Bring me back to home.

I thought I am already fine,
 but look,
 I am still a mess and miserable that's why I finally post this.

Saturday, April 30, 2016

Everytime I still

Kepada senja, dan hal-hal yang pernah kita bicarakan.



I still can taste your lips
Everytime I try to lick mine

I still can feel your finger
Everytime someone grabs my hand

I still can remember your smell
Everytime the wind blows

I still can hear your laugh
Everytime the funny stories are around

I still can see your deep eyes
Everytime I try to look at another man

And I still can feel your presence
Although you are not longer here




(Judul dari postingan ini merupakan usulan seseorang, yang sebaiknya segera saya lupakan)

Monday, March 7, 2016

To Father,

“Dulu papa juga sangat suka menulis.” Telingaku tiba-tiba mendengar suara yang begitu ku hafal di luar kepala.
Aku sedang terduduk di taman belakang, menatap kosong pada layar laptop yang cahayanya kelamaan akan meredup, karena terlalu lama ku anggurkan.
“Papa sudah pulang?” Tanyaku agak terkejut. Hanya kalimat itu yang dapat ku ucapkan.
“Mengapa kau tutup layarnya? Papa mengganggumu, ya?” Tanya papa setelah aku menutup layar laptopku.
“Tidak, pa. Aku hanya tak ingin melanjutkan tulisanku saja, sudah buntu dan tidak memiliki ide lagi.” Jawabku tanpa menoleh ke arahnya.
Papa ikut duduk di sebelahku, dan mulai menyalakan laptopku lagi,
“Jangan dibaca, ih, tulisanku masih seperdelapan jadi.”
“Lantas segera selesaikan.” Jawab papa sambil tersenyum.
“Sepertinya tidak akan ku lanjutkan. Aku kehabisan ide untuk membuat alurnya menarik.” Jawabku tidak bersemangat.
“Lalu kamu akan menelantarkan tulisanmu yang seperdelapan jadi itu?”
Aku hanya mengangkat bahuku. Karena sejujurnya aku tidak memiliki rencana apa-apa. Yang aku tahu, aku hanya suka menulis.
“Menulis itu bukan hanya sekedar sebuah proses, kak. Kamu tidak bisa hanya terus-terusan menuliskan segala hal, kamu harus punya tujuan; akan dibuat seperti apa tulisanmu. Harus ada hasil yang pasti dari yang kamu tuliskan. Dan untuk menyelesaikan proses itu, kamu perlu berkomitmen untuk tidak menelantarkan tulisanmu begitu saja di tengah jalan, hanya karena kehabisan ide.”
“Tapi aku tidak berniat untuk menyeriusi dunia tulis menulis. Aku hanya suka menulis, itu saja.”
“Percayalah, kamu akan jatuh cinta terhadapnya, kemudian berakhir tak ingin keluar dari dunianya.”
“Seperti yang pernah papa alami?”
“Ya, sayangnya papa hanya jatuh cinta, tanpa komitmen apapun untuk papa serahkan. Jadilah, tak ada hasil yang jelas akibat tak ada kepastian. Karena jatuh cinta saja tak cukup, kak.” Ujar papa sambil tertawa, seolah itu semua lucu.
Aku tidak merespon apapun ucapan papa, namun pikiranku berkecamuk dan terus memikirkan kalimat yang papa utarakan, bahwa jatuh cinta saja tak cukup. Lima kata itu membuat pikiranku melayang kemana-mana, dan tanganku merasa tertantang untuk segera menuliskan hal yang berkeliaran dalam kepalaku.
“Bacalah buku yang banyak. Itu akan membantumu meningkatkan skill menulis.” Ujar papa sambil beranjak pergi.
“Pa,” pangilku sambil tersenyum.
“Terima kasih atas kalimat jatuh cinta saja tak cukup. Aku jadi memiliki ide baru untuk menulis.”
Papa hanya memandangku dengan mata berbinar, dan senyum yang mengembang.
“That’s my daughter.”
Dan tinggalah aku sendirian di taman belakang. Hanya ditemani laptop, dan kalimat-kalimat dalam pikiranku yang berteriak segera ingin dimerdekakan.

**
Aku tidak ingat sejak kapan akhirnya aku tenggelam dalam dunia tulis menulis. Papa benar, akhirnya aku benar benar jatuh cinta. Aku bahkan memutuskan untuk mempelajari sastra lebih dalam lagi. Papa membantuku untuk menemukan diriku sendiri melalui dunia ini, menyadarkanku untuk selalu mencintai diriku sendiri, dan berpegang teguh pada apa yang aku percayai. Papa sukses menanamkan hal-hal penting dalam hidup yang tak akan ku temukan jikalau aku tak berlabuh pada dunia ini.
Namun, aku juga belajar satu hal yang lebih penting lagi. Saat kau menemukan, kau akan berhadapan dengan kehilangan. Saat kau mencintai dirimu lebih dari apapun, kau tak lagi percaya pada cinta siapapun. Dan saat kau berusaha mempercayai apa yang kau yakini, kau harus siap mempertaruhkan kepercayaanmu atau orang yang kau sayangi.
I wish I can love myself and my father at the same time..
“Kamu gak mau bicara sama Papa?” Itu pertanyaan yang selalu Mama ucapkan setiap dua minggu sekali aku menelepon.
Aku selalu berusaha meluangkan waktuku untuk menelepon Mama, walau hanya sekitar 20 menit. Mama selalu menawar agar aku bisa seminggu sekali menelepon, tapi aku belum siap untuk berbicara banyak pada siapa pun, walau kepada seseorang yang selama ini paling aku percaya.
“Belum waktunya, mungkin nanti.” Selalu itu jawaban yang keluar dari mulutku. Sebenarnya aku ingin mengancam Mama dengan ancaman tak akan menelepon lagi jikalau pertanyaan itu yang selalu ia lontarkan, tapi aku tak ingin menyakiti perempuan yang sudah mengorbankan segalanya demi kehidupanku lebih dalam lagi.
“Sejak sebulan yang lalu Papa selalu membereskan perpustakaan milik kalian berdua, katanya supaya ada kerjaan di hari Minggu, padahal Mama sadar bukan itu tujuannya.” Aku hanya mendengarkan Mama berbicara melalu telepon di seberang sana.
Aku dan Papa memang mempunyai perpustakaan kecil di rumah, dulu aku yang memintanya, dan Papa dengan bersemangat membuatkannya untukku. Mama selalu menyebut perpustakaan kecil itu sebagai “Perpustakaan Milik Kalian Berdua.” Kalian ditunjukkan kepadaku dan Papa, sebagai satu kesatuan. Di keluarga kami memang hanya aku dan Papa yang selalu mengisi rak-rak di dalamnya dengan koleksi buku-buku kami, Mama hanya menyumbang buku resep makanan dan tutorial hijab miliknya, dan kedua adikku yang laki-laki hanya menyumbang serial komik yang volumenya belum lengkap. Sementara aku dan Papa selalu berusaha untuk mengisi rak-rak itu minimal dengan tiga buku baru dalam setiap bulan.
“Papa rindu kamu, kak.” Ujar Mama dengan suara pelan, namun terasa seperti petir yang menggelegar dalam dasar hatiku.
Aku mengira diriku kuat, aku mengira semua rasa cinta dalam diriku sudah bertranformasi menjadi kebenciaan, atau setidaknya, aku mengira diriku sudah tak bisa merasa sakit juga kecewa lagi, aku mengira aku sudah tak lagi peduli, aku mengira... aku mengira...
Perkiraanku salah. Pilihan untuk kabur selama berbulan-bulan ternyata tidak membuatku semakin tangguh, mungkin dalam pikiran dan perkiraanku memang iya, namun nyatanya di dalam diriku masih tersungkur rapuh.
I wish I can hate a person who biologically speaking should I love...
“Minta maaflah pada Papa, kak. Turunkan sedikit egomu.” Ujar Mama saat aku tak merespon apapun.
“Suatu saat nanti, Ma. Saat aku sudah siap.” Jawabku singkat. Kalimat itu pula yang menutup pembicaraanku dengan Mama saat itu. Aku beralibi pada Mama akan menyelesaikan tugas-tugas yang menumpuk, padahal untuk berkonsentrasi pun aku terlalu lelah. Tadinya aku ingin membicarakan hal itu, namun memang lah seperti ini hidup berjalan, saat kau sedikit yakin untuk membuka dirimu dan membiarkan orang lain menyentuh jiwamu, saat itu pula kau tahu bahwa hanya dengan berfikiran kau bisa mempercayai orang lain saja sudah kesalahan besar. Lagi-lagi, aku hanya bisa menyimpan segala penderitaanku sendirian.
Aku sadar aku mengecawakan orang orang yang aku sayang, maka sejak itu pula aku berhenti untuk menyayangi orang lain, kecuali diriku sendiri. Mama benar, aku terlalu egois. Aku tak ingin merasakan sakit hanya karena melihat pandangan terluka dari orang-orang yang aku sayang. Aku tak ingin mengorbankan apa yang aku percayai dan hidup dengan segala hal yang bertentangan dengan keinginanku hanya karena untuk membuat orang-orang yang aku sayang bahagia. Sejak saat itu, saat aku merasa menyanyangi seseorang berarti melukai diriku sendiri, aku berhenti peduli pada siapapun, dan aku pergi, meninggalkan mereka yang sampai sekarang masih aku pedulikan, padahal aku sudah bersusah payah untuk tidak peduli.
Ku kira hidup sendirian tanpa harus memikirkan perasaan orang lain dan mengorbankan perasaanku sendiri adalah jauh lebih baik. Tapi nyatanya aku menderita hidup dengan diriku sendiri. Ternyata aku bukan hanya kehilangan orang-orang yang aku sayang, aku juga kehilangan tujuan hidupku, semangatku, dan diriku sendiri. Aku sudah tak tahu lagi siapa yang hidup dalam tubuhku sendiri.
“Papa tidak membesarkanmu untuk menjadi seseorang seperti ini!” Aku masih ingat betul pernyataan Papa tujuh bulan yang lalu.
“Seperti apa? Orang yang selalu Papa anggap salah karena yang benar hanyalah diri Papa sendiri?” Papa menjawab pertanyaank dengan tamparan di pipi sebelah kanan.
“Kenapa tidak Papa bunuh atau usir saja aku dari hidup Papa? Aku terlalu mengecawakan, kan?” Suaraku tertahan di kerongkongan saat itu karena menahan tangis.
“I don’t even want a life like this!” Ujarku saat itu sambil berteriak. Aku tidak sadar saat itu bahwa kata-kata yang keluar dari mulutku membawa panah yang melukai perasaan Papaku sendiri.
“Kamu bukan lagi anak permpuan yang selama 18 tahun hidup bersama Papa. Papa sudah tidak mengenal anak Papa sendiri.” Ujar Papa saat itu, tanpa ekspresi atu intonasi marah. Tatapannya kosong, dan suaranya parau. Tapi aku tahu, Papa sangat kecewa.
Aku tidak menangis saat hari kepergianku dari kota kecil yang hampir 15 tahun menjadi tempat kenangan masa remajaku. Aku juga tidak menangis karena harus berpisah dengan keluarga dan meninggalkan rumah. Aku pergi dengan tidak merasakan apa-apa. Tidak sedih ataupun terluka, maupun bahagia juga merasa bebas.
One thing I only knew, myself already dead that time.
Namun akhirnya malam ini aku menangis. Hanya beberap butiran air mata yang terasa, namun gabungan dari segala penderitaan yang sudah lama menyiksa. Aku rindu, dengan keluargaku, dan dengan diriku sendiri.
“Mama sayang kaka.” Aku seperti bisa mendengar suara mama dari ponsel di atas meja. Pernyataan yang selalu terlontar dari mulut Mama setiap mengakhir pembicaraan.
Dan aku merasa diriku lebih mati mendengar ucapan itu. Aku hanya akan menyakiti orang-orang yang sayang padaku. Aku hanya akan mengecawakan dan membebani mereka.
Akhirnya aku memutuskan untuk mengganti sim card dan memutuskan satu-satunya hubungan dengan keluargaku untuk sementara waktu (atau mungkin selamanya). Bukan karena aku sudah tak lagi peduli pada mereka, aku begitu menyayangi mereka hingga hanya rasa sakit yang tersisa.
“Air mata adalah bukti betapa kau menyayangi seseorang, kak.” Dan di ruangan sunyi ini, aku bisa mendengar rekaman ulang suara Papa saat umurku 12 tahun, tepat sehari setelah nenek meninggal dunia.

To Father,
Dad, I am fine. I am writing this in the corner of my room, playing our song, and remembering our moments.
How are you? Is mother doing fine? How is my sister? Is she growing up become someone you expected your daughter to be?
Father,
I’m sorry I can not tell you this directly, but I just want you to understand, everything that happened to me was not your fault.
Thank you for introduced me about Sylvia Plath and Ernest Hemingway. Now I can learn more how to in love with despair, how to enjoy the agony, and how to live in misery. You are a really great father. You taught me right, it was just me who suck.
I will back very soon. Just make a wish that I will be back not with my dead body. I am just kidding, Dad, even I love Plath and Hemingway that much, I am not going to follow the way their welcomed the death.
I know you still love me with all of your heart, Dad.
Because I also still do.

Saturday, August 15, 2015

Satu yang aku tahu, tidak ada yang abadi

Waktu yang mempertemukan kita, sekarang berganti menjadi waktu yang memisahkan kita.
Semesta yang dulu seolah mendukung menjadi semesta yang  menentang kita saat ini.
Dan kamu yang dulu mencintaiku adalah orang yang sama yang menghiraukanku saat ini.
Begitukah aturan waktu? Berjalan dan berubah tanpa memedulikan yang berada di dalamnya?
Begitukah kekuasaan semesta? Semena-mena tanpa sadar apa yang dilakukannya?
Begitukah dirimu yang sebenarnya? Yang dengan mudah melepasku seolah aku tak pernah berarti apa-apa bagimu?
Dan aku di sini masih tetap dengan diriku yang sama,
Hanya saja aku hancur dipermainkan waktu, ditipu oleh kekuasaan semesta, dan dicampakkan oleh dirimu.

Wednesday, March 18, 2015

It's still the same

17 Juni 2014

Langit sore ini begitu terang, angin berhembus tak berhenti, menyapa kulitku dan menerbangkan rambut-rambut kecilku. Matahari tertutup awan putih, membuat udara terasa sejuk dan damai.

Suara ombak berbenturan satu sama lain dengan kecepatan yang stabil, membuatku merasakan tenang menangkap suaranya. Tak ada polusi udara, tak ada kerumunan kehidupan yang membuat letih, tak ada siapapun, hanya aku dan dia.

Sore itu, semesta seolah-olah bekerja sama untuk membiarkan kita berdua menikmati indahnya suasana pantai.

“Thank you for bring me here.” Ujarku dengan senyuman yang begitu tulus.

“Anytime. Gue seneng liat lo daritadi senyum terus-terusan.” Jawabnya dengan senyuman yang tak kalah indah.

“Gue suka banget pantai, dari umur 5 tahun sampai detik ini. Gue emang belum pernah sih merasakan ombak dan sejuknya air asin di tengah pantai, karena jujur aja gue gak bisa berenang dan gue takut air.” Ujarku malah bercerita tentang hal lain. Bersama dia, aku merasa menemukan seseorang yang mampu mendengar apapun yang keluar dari mulutku. Mulai dari hal tidak penting, hal yang membuatku khawatir, hingga masalah-masalah yang menggangguku, aku dapat memberitahukannya.

“Terus yang ngebuat lo suka itu apa?” Tanyanya heran.

“Pantai sebagai filosofinya. Gue suka suasananya, suara ombaknya yang bisa bikin gue lebih tenang, hembusan anginnya yang bikin gue merasa lebih damai. Pemandangan langitnya yang bisa buat gue merasa takjub.” Jawabku tersenyum sambil menerawang ke langit yang begitu indah dan terasa dekat.

“Gue inget banget pertama kali gue suka pantai itu karena apa, laki-laki pertama yang gue cintai yang membawa gue kesini dan memengaruhi isi kepala gue.” Ceritaku lagi, tanpa henti. Sudah kubilang bukan, aku tidak mengerti dia mempunyai magnet kah atau sesuatu hal yang terus memaksaku berbicara dan bercerita, namun aku memang senyaman itu memberitahunya segala hal yang berada di kepalaku.

“Laki-laki pertama yang lo cinta?” Tanyanya ragu.

“Bokap gue.” Ujarku mengklarifikasi.

“Beliau orang yang cukup berpengaruh dengan hal-hal yang gue suka dan tidak suka saat ini. Beliau amat sangat suka pantai, dan berenang, makanya sering banget ngajak gue ke pantai dulu saat masih kecil.”

“Tapi memang dari kecil gue penakut dan kayaknya sifat cepat khawatir gue memang sudah ada dari dulu, gue gak pernah mau diajari berenang atau ikut bokap gue bermain air. Gue takut ketinggian, takut kedalaman, dan juga takut air. Gabungan yang pantai miliki semua kan?”

Dia terus mendengarkan sambil terus memandangiku yang sedang asik bercerita.

“Aneh deh. Lo suka pantai, tapi gak suka berenang dan bermain air. Apa artinya?” Tanyanya heran dengan isi kepalaku.

“Memangnya lo butuh alasan untuk mencintai sesuatu?” Tanyaku.

“Maksudnya?” Tanyanya balik dengan dahi berkerut.

“Gue punya prinsip sendiri saat mencintai sesuatu atau seseorang. Hanya karena ada beberapa hal yang bikin gue tidak nyaman dan membuat gue takut, bukan berarti gue mencintainya dengan kurang. Cinta gak semain-main itu.” Ujarku dengan jelas.

“Aneh.” Jawabnya datar.

“Kok, aneh sih?” Tanyaku bingung.

“Karena bagi gue gak gitu. Saat gue mencintai sesuatu atau seseorang, gue mencintai seluruhnya, tanpa sedikitpun cela, tanpa rasa tidak nyaman ataupun tanpa rasa takut.” Ujarnya menjelaskan.

“Lantas kalau ada sesuatu yang membuat lo tidak nyaman?” Tanyaku menuntutnya penjelasan.

“Gue bakal berusaha merubah perasaan tidak nyaman itu, gue sih percaya perasaan cinta bisa menghilangkan dan mengesampingkan perasaan tidak nyaman itu.” Ujarnya sambil menatap mataku.

“Kalau tiba-tiba ternyata perasaan tidak nyaman itu muncul, walaupun lo udah berusaha mencintainya, bagaimana?” Tanyaku sambil menantang tatapan matanya.

“Berarti gue gak cinta lagi. Memangnya lo bisa mencintai sesuatu atau seseorang tanpa rasa nyaman?” Tanyanya balik tanpa mengalihkan pandangan.

“Bisa.” Jawabku sambil menghindari tatapannya, lantas pura-pura memandang ke depan.

“Aneh. Bagi gue kita harus nyaman dulu baru perasaan cinta akan timbul.”

“Berarti kita bener-bener mempunyai pandangan berbeda ya dalam hidup.” Ujarku pelan, seperti berbisik.

“Ngomong apa, Nay?” Tanyanya memastikan.

“Nothing.” Aku menoleh sambil tersenyum.

Langit berubah warna, matahari sudah akan tergelincir ke arah barat. Burung-burung berterbangan dengan bebas di atas langit. Langit begitu terang dan penuh warna, membuatku tersenyum menatapnya.

“Kita kesana, yuk? Liat sunset dari sana pasti lebih bagus.” Ajaknya sambil menggandeng tanganku.

Aku mengikuti langkahnya, sambil menggenggam tangannya yang basah namun begitu membuatku merasa tenang dan damai. Aku menggenggam semakin erat, dan dia menoleh, sambil tersenyum begitu tulus dan indah.

Kita berjalan menyusuri pantai sambil bergandengan tangan. Suasana pantai begitu sepi, tidak ada orang yang sedang bersenang-senang, hanya ada beberapa nelayan yang baru saja selesai menangkap ikan dan akan segera pulang.

Hanya ada kita berdua.
Aku dan dia. Dengan background langit yang begitu berwarna, juga suara desiran ombak, dan tak lupa angin yang berhembus damai.

“Sunsetnya indah.” Ujarku saat kita berhenti melangkah dan menatap langit yang sudah berubah warna.

Dia hanya tersenyum, mengangguk, dan tiba-tiba memelukku dari belakang.

Aku hanya tersenyum, tidak meronta atau merasa keberatan. Jika ada hal yang bisa aku pilih untuk tinggal selamanya, aku ingin tinggal di pelukannya. Berada di sela-sela kedua lengannya, memeluk dan dipeluknya sambil menikmati hari yang terus berjalan.

Tidak ada suara yang terucap. Hanya desiran ombak yang seolah-seolah bernyanyi, dan hembusan angin yang bersenandung lembut.

Aku begitu menikmati waktu seperti ini. Saat sunset tiba, dan berada di pelukan laki-laki yang membuatku makin mencintai indahnya suasana pantai.

“Gue sayang lo, Nay.” Bisiknya pelan dan lembut, namun begitu yakin.

Aku tersenyum mendengar ucapannya. Air mataku menetes, bukan karena rasa sedih, namun perasaan bahagia yang begitu meggebu.

“Naya, would you be my girlfriend?” Tanyanya sambil memutar posisiku, lalu jarinya menghapus air mata di pelupuk mataku, kemudian menggenggam kedua tanganku dengan begitu erat, seolah-olah tidak ingin melepaskan, dan ingin selalu menjagaku.

“Ada banyak hal yang lo belum tau tentang gue. Bagaimana kacaunya pikiran gue, bagaimana gue gampang khawatir terhadap suatu hal. Hidup gue gak menyenangkan, banyak sisi gelap dalam diri gue, kita akan banyak berbeda pendapat, gue takut kalau akhirnya lo akan capek ngadepin semua sikap dan sifat gue. Karena gue bisa melakukan kesalahan nanti, gue bisa ngelakuin hal-hal bodoh, akan ada sifat gue yang bakalan lo gak suka, sesuatu yang buat lo gak nyaman. Apa lo bisa menerima itu semua?” Tanyaku penuh nada khawatir.

“Gue sayang lo, Nay. Dan gue akan menerima semua hal itu. Gue akan berusaha buat terus menjaga perasaan gue untuk lo sama seperti gue akan selalu ngejagain lo.” Jawabnya meyakinkan.

Aku melepas genggaman tangannya, kemudia berlari pelan, dan berteriak,
“Tunjukin seberapa besarnya lo gak mau kehilangan gue!”

Dan dia mengejarku dengan sigap dan cepat, seolah-seolah seperti tidak ingin melepaskanku dan kehilanganku, kemudian dia menangkapku, memeluk tubuhku dan kita tersenyum bahagia dengan matahari yang akhirnya benar-benar tenggelam.

Aku memeluknya begitu erat, “I love you.”

“I love you more.”

Dan dengan saksi langit yang sudah gelap, itulah kata terakhir yang kami ucapkan di tempat ini. Kata yang bisa didengar oleh seluruh penghuni pantai, dan kemudian dihembuskan oleh angin, dibawanya entah kemana.

Namun yang aku tahu, perasaan cinta ini akan selalu ada di lubuk hatiku, tak akan berkurang dan tak akan berpindah.

**

17 Maret 2015

Masih di tempat yang sama. Pantai yang sama. Desiran ombak yang sama. Hembusan angin yang sama. Pemandangan langit yang sama. Dan pasir coklat yang sama.

Yang berbeda hanyalah keadaan tak seindah dulu kala. Laki-laki kedua yang membuatku lebih mencintai pantai tak lagi bisa menemani. Dia sudah menemukan hidup baru, yang sialnya lebih baik tanpa diriku. Dia sudah berjalan maju lebih dulu, dan tidak bisa memutar arah ataupun berjalan mundur. Aku bukan lagi tujuannya, bukan lagi rumah yang bisa membuatnya ingin pulang.
Dia sudah menentukan untuk keluar dari kata kita. Yang menyebabkan tak ada lagi aku dan dia di cerita yang sama.

Aku merenung menatap langit sendirian. Menahan seluruh air mataku agar tidak mengalir. Mengontrol semua emosiku agar tidak lagi menangis. Dan merasakan sakit sendirian.

Aku berdiri dan menginjakkan kaki tepat di pasir yang dulu aku dan dia terakhir kali injakkan.

Sudah 9 bulan berlalu, banyak kenangan indah terukir juga kenangan pahit yang memberiku banyak pelajaran.

Terkadang hidup selucu ini, waktu begitu cepat berjalan, dan tiba-tiba saja dalam hitungan hari semuanya berubah dan berkebalikan. Dulu semesta seolah-olah mendukung, namun kemudian, dengan terencana ingin memisahkan.

Orang yang dulu berjanji bisa menerima malah akhirnya pergi dan menyalahkan seluruh sikapmu. Orang yang dulu menghapus air matamu kini malah menjadi penyebab air matamu. Orang yang dulu menjadi alasanmu tertawa dan bahagia, sekarang menjadi satu alasan mengapa kau menangis di setiap mimpi burukmu. Hidup kadang selucu itu. Dan seperih itu.

Air mataku terus mengalir tanpa henti, di tempat yang dulunya aku pernah tertawa begitu bahagia.

“I love you.”
Ucapku masih di tempat yang sama, dan dengan perasaan yang masih sama. Perbedaannya sekarang tidak ada lagi orang yang membalas ucapan itu.

But you know what, you will always be the second man I love after my dad. Always.