Aku baru
saja menghempaskan tubuh lelahku di atas kasur. Jam dinding sudah menunjukkan
pukul setengah 10 malam, itu berarti aku hampir menghabiskan setengah jam
hidupku dalam kesibukan. Pantas saja aku merasa tulang-tulang tubuhku sebentar
lagi akan copot, dan terpotong terpecah belah. Aku bergidik sendiri
membayangkan tulang-tulang tubuhku yang nanti akan berjalan sendiri-sendiri
tanpa ada otot yang menyelubunginya.
Aku
buru-buru memejamkan mata, berusaha mengenyahkan segala pikiran gila nan horor
yang sedang menghantui otakku. Aku ingin cepat-cepat menuju pulau kapuk, hidup
tenang dan damai di sana, sambil diselingi mimpi indah yang tak mungkin ku
dapatkan dalam hidupku ini.
Namun,
bukannya aku terbang ke alam mimpi, aku malah terseret ke dalam kenangan masa
lalu.
Kenangan yang dalam hitungan detik sudah mampu membunuhku perlahan-lahan,
menusuk relung hatiku, membuatnya semakin terluka, dan menyeretku ke dalam arus
kesedihan.
Aku benci
dengan otakku yang tiada henti-hentinya memutar ulang segala kenangan manis dan
pahit yang pernah terjadi dulu. Aku benci dengan hatiku yang masih menyimpan
sepercik harapan tentang dirinya, yang telah menorehkan alkohol ke dalam
lukaku, membuatnya begitu sakit dan kemudian dia pergi. Aku benci diriku
sendiri yang tak mampu mengobati lukaku sendiri, dan malah membuat diriku
semakin terluka dengan terus mengenangnya. Dan yang paling ku benci adalah,
pria itu, seseorang yang sudah mengambil hatiku kemudian mengembalikannya dalam
keadaan tak layak pakai. Seseorang yang mengacak-ngacak dan melukai relung
hatiku, yang hingga sekarang aku tak ketahui kabar tentang dirinya.
Aku benci
dirinya. Aku benci karena saat aku pertama kali benar-benar jatuh cinta,
seseorang itu malah akhirnya membuatku tidak bisa percaya pada apapun, karena
luka yang kurasakan lebih hebat daripada kebahagiaan yang kurasakan saat jatuh
cinta.
Aku
membenci dirinya sebesar aku mencintai dirinya. Tak peduli seberapa seringpun
aku mengutuknya, dia akan selalu menjadi satu-satunya orang yang berada di
hatiku, satu-satunya orang yang selalu menghiasi impian masa depanku. Dan dia,
satu-satunya orang yang mampu mengobrak-abrik hatiku, dan meredupkan segala
cahaya pada setiap harapan yang dulu aku punya.
Hah,
shit, brain, can you just shut up and don't remind me anything about him!
Just,
damn, it, heart! Don't hurt yourself for the second time! You already broken!
And,
fuck you, stupid eyes, why you always crying? Can you be stronger? He doesn't
deserve the tear!
Aku
benar-benar merasa seperti orang bodoh saat ini. Orang bodoh yang mencintainya
begitu amat, dan merindukannya begitu sangat.
Hatiku
benar-benar terasa perih saat ini. Kenangan tentang dirinya bagaikan perasan
jeruk nipis yang diperas ke dalam luka yang belum sepenuhnya sembuh. Terasa
pedih dan begitu amat menyakitkan.
Kurasakan
rasa sesak didalam dada akibat menahan air mata yang sudah mencekat di
kerongkongan. Aku tidak ingin menangis, tidak untuk kesekian kalinya. Aku tidak
ingin membuat diriku terluka, tapi aku tidak bisa, semakin aku berusaha melupakan
segala hal tentangnya, semakin aku melukai diriku sendiri.
Tak ada
yang bisa kuperbuat selain menangisi kesedihan ini. Segalanya sudah jelas, dia
sudah benar-benar pergi, dan disini, aku masih tak rela, karena aku masih
berharap dia akan kembali, walau kutahu, itu mustahil.
Aku
merasakan tetesan air mata di pipi kiriku, bukti bahwa hatiku benar-benar
tertoreh luka.
So here I
am, sleeping with a broken heart, and trying to heal the pain, but I ended
crying.
The more I
try to forget, the more I feel hurt. Forgetting him is like stabbing my own
self with a knife. To forget him, I have to kill myself first, and I can't kill myself,
either forgetting him.
Aku
menghela napas sekuat tenaga, berusaha menguatkan diriku sendiri, air mata
memang sudah berhenti mengalir, namun bukan berarti lukanya sudah menghilang.
Luka itu masih tetap berada disana, menunggu untuk disembuhkan.
Ya
Tuhan.... Betapa aku amat merindukan laki-laki itu, laki-laki sialan yang sudah
melukaiku. Mengapa aku tidak bisa benar-benar membencinya dan mengenyahkan
dirinya dari pikiranku?
Aku
menghela napas, mengambil handphone di bawah bantal, kemudian menekan
nomor-nomor yang seharusnya sudah aku lupakan.
Aku
merindukannya sebesar perasaan sakit yang ku rasakan. Aku rindu dengan suara
tawanya yang renyah, kelakuan konyolnya, sifat cueknya, genggaman tangannya,
pelukan hangatnya, dan aku begitu merindukan dirinya dulu yang mencintaiku.
Aku tahu,
tak seharusnya aku melakukan apa yang akan kulakukan ini. Namun, aku tidak bisa
membohongi diriku sendiri, aku begitu merindukannya, dan bodohnya, aku masih
menyimpan sepercik harapan bahwa mungkin segalanya bisa kembali, dan dia
mungkin saja menginginkan hal yang sama.
Pikiran
yang teramat tolol memang. Tapi hanya itu satu-satunya cara yang dapat
mengobati luka yang begitu dalam ini. Aku tidak bisa berbohong, aku memang
masih berharap, aku menyimpan harapan itu jauh di dasar hatiku, dan hanya
itulah sekarang yang aku punya. Sepercik harapan yang cahayanya kini kian
meredup.
Aku menekan
tombol dial, kemudian memejamkan mata, merasakan nada dering di ujung sana.
Dapat
kurasakan jantungku berdetak begitu cepat dari biasanya, dan darah dalam diriku
mengalir begitu terburu-buru. Tiba-tiba aku merasa ketakutan, bagaimana jika
yang kulakukan saat ini akan membuatku semakin terluka? Bagaimana jika pada
akhirnya aku benar-benar meredupkan harapan yang cahayanya kian meredup?
Bagaimana jika aku jatuh kembali? Bagaimana jika aku hanya menimbulkan
luka-luka yang baru? Bagaimana jika,
"Hallo?"
Ku rasakan suara tenang dari dalam handphoneku.
Oh shit.
Suara itu... suara yang begitu kurindukan, suara yang membuatku tergila-gila
padanya.
Oh,
damn, what are you fucking doing, self?
Aku
buru-buru menekan tombol merah pada handphoneku, namun bukannya menutup
telepon, handphoneku nge-hang total!
Mampus.
Mampus.
Mampus.
Mampus.
Mampuuuuusss!!!!
Kenapa juga
sih handphone sialan ini harus nge-hang dalam keadaan seperti ini?
"Hey?
Hallo? Hallo?" Ujar suara disebrang sana lagi, kali ini lebih nyaring.
Kepanikan
langsung menyerangku begitu saja, buru-buru aku membuka bagian belakang dari
handphoneku, dan mencabut batterynya secepat kilat.
Fuiiiih......
Ternyata ini tak semudah yang kubayangkan. Segala kata yang sudah kusiapkan
tadi membeku seiring dengan terdengarnya suara yang ku rindukan itu. Tapi aku
bahagia, rasa rindu yang begitu amat kini sedikit demi sedikit mulai terobati,
setidaknya sakitnya tidak seperti tadi. Setidaknya malam ini aku bisa bermimpi
dengan bahagia.
Kunyalakan
kembali handphoneku, menunggunya aktif kembali dengan perasaan tegang.
Entahlah, aku hanya merasakan detak jantungku malah semakin terasa cepat.
Aku melihat
ada satu kotak masuk dalam handphoneku, dan ku buka pesan itu dalam hitungan
detik.
Aku terdiam
membaca kalimat demi kalimat di dalamnya, mencerna 5 kata yang tercetak besar
dalam layar handphone. Dapat ku rasakan mataku memanas, dan hatiku menjerit
kesakitan.
From: 08xxxxxxxxxxxx
I'm sorry, who are there?
Nomor itu
adalah nomor laki-laki yang kurindukan dan kutelpon tadi. Hanya 5 kata, namun
sangat mampu merobek lukaku semakin dalam. Aku tersenyum getir membaca ulang
kalimat itu.
It's
funny how you already forget everything that I can't switched it off my mind.
Ternyata
aku salah. Aku memang bodoh karena sekarang aku sudah benar-benar mematikan
cahaya itu, aku tidak seharusnya memakai harapan terakhirku tadi. Aku bodoh karena merasa dia akan menyimpan kenangan tentang
diriku seperti aku menjaga kenangan tentangnya dalam ruang hatiku. Aku bodoh karena berfikir malam ini
aku bisa bermimpi indah. Aku bodoh karena aku memeras jeruk nipis itu sendiri
ke dalam luka di hatiku.
Aku tertawa
getir meratapi kebodohanku itu. Kemudian terisak begitu hebatnya di bawah
selimut. Aku tidak mampu lagi menahan air mata, sakitnya terlalu amat, lukanya
terlalu besar untuk kutanggung sendiri, aku tak mampu lagi berpura-pura
semuanya baik-baik saja.
Do you
want to know who I am? I am a moron who still loving you even though everyone
told me not to. I am a moron who missing you that much.
Aku
mengetik kata-kata itu, namun kuurungkan niatku untuk mengirimnya. Cukuplah
sampai di sini saja. Cukup sampai sini saja aku bertindak bodoh karena
mencintainya dan merindukanya.
Air mata
masih mengalir di pipiku, menyatakan bahwa luka itu masih ternganga
lebar dalam relung hatiku.
Yeah, I
am a moron who hurt my own self. I am a moron.
But,
this moron is missing you.
No comments:
Post a Comment