“Dulu papa juga sangat suka menulis.” Telingaku tiba-tiba
mendengar suara yang begitu ku hafal di luar kepala.
Aku sedang terduduk di taman belakang, menatap kosong pada
layar laptop yang cahayanya kelamaan akan meredup, karena terlalu lama ku
anggurkan.
“Papa sudah pulang?” Tanyaku agak terkejut. Hanya kalimat
itu yang dapat ku ucapkan.
“Mengapa kau tutup layarnya? Papa mengganggumu, ya?” Tanya
papa setelah aku menutup layar laptopku.
“Tidak, pa. Aku hanya tak ingin melanjutkan tulisanku saja,
sudah buntu dan tidak memiliki ide lagi.” Jawabku tanpa menoleh ke arahnya.
Papa ikut duduk di sebelahku, dan mulai menyalakan laptopku
lagi,
“Jangan dibaca, ih, tulisanku masih seperdelapan jadi.”
“Lantas segera selesaikan.” Jawab papa sambil tersenyum.
“Sepertinya tidak akan ku lanjutkan. Aku kehabisan ide untuk
membuat alurnya menarik.” Jawabku tidak bersemangat.
“Lalu kamu akan menelantarkan tulisanmu yang seperdelapan
jadi itu?”
Aku hanya mengangkat bahuku. Karena sejujurnya aku tidak
memiliki rencana apa-apa. Yang aku tahu, aku hanya suka menulis.
“Menulis itu bukan hanya sekedar sebuah proses, kak. Kamu
tidak bisa hanya terus-terusan menuliskan segala hal, kamu harus punya tujuan;
akan dibuat seperti apa tulisanmu. Harus ada hasil yang pasti dari yang kamu
tuliskan. Dan untuk menyelesaikan proses itu, kamu perlu berkomitmen untuk
tidak menelantarkan tulisanmu begitu saja di tengah jalan, hanya karena
kehabisan ide.”
“Tapi aku tidak berniat untuk menyeriusi dunia tulis
menulis. Aku hanya suka menulis, itu saja.”
“Percayalah, kamu akan jatuh cinta terhadapnya, kemudian
berakhir tak ingin keluar dari dunianya.”
“Seperti yang pernah papa alami?”
“Ya, sayangnya papa hanya jatuh cinta, tanpa komitmen apapun
untuk papa serahkan. Jadilah, tak ada hasil yang jelas akibat tak ada
kepastian. Karena jatuh cinta saja tak cukup, kak.” Ujar papa sambil tertawa,
seolah itu semua lucu.
Aku tidak merespon apapun ucapan papa, namun pikiranku
berkecamuk dan terus memikirkan kalimat yang papa utarakan, bahwa jatuh cinta
saja tak cukup. Lima kata itu membuat pikiranku melayang kemana-mana, dan
tanganku merasa tertantang untuk segera menuliskan hal yang berkeliaran dalam
kepalaku.
“Bacalah buku yang banyak. Itu akan membantumu meningkatkan
skill menulis.” Ujar papa sambil beranjak pergi.
“Pa,” pangilku sambil tersenyum.
“Terima kasih atas kalimat jatuh cinta saja tak cukup. Aku
jadi memiliki ide baru untuk menulis.”
Papa hanya memandangku dengan mata berbinar, dan senyum yang
mengembang.
“That’s my daughter.”
Dan tinggalah aku sendirian di taman belakang. Hanya
ditemani laptop, dan kalimat-kalimat dalam pikiranku yang berteriak segera
ingin dimerdekakan.
**
Aku tidak ingat sejak kapan akhirnya aku tenggelam dalam
dunia tulis menulis. Papa benar, akhirnya aku benar benar jatuh cinta. Aku
bahkan memutuskan untuk mempelajari sastra lebih dalam lagi. Papa membantuku
untuk menemukan diriku sendiri melalui dunia ini, menyadarkanku untuk selalu
mencintai diriku sendiri, dan berpegang teguh pada apa yang aku percayai. Papa
sukses menanamkan hal-hal penting dalam hidup yang tak akan ku temukan jikalau
aku tak berlabuh pada dunia ini.
Namun, aku juga belajar satu hal yang lebih penting lagi.
Saat kau menemukan, kau akan berhadapan dengan kehilangan. Saat kau mencintai
dirimu lebih dari apapun, kau tak lagi percaya pada cinta siapapun. Dan saat
kau berusaha mempercayai apa yang kau yakini, kau harus siap mempertaruhkan
kepercayaanmu atau orang yang kau sayangi.
I wish I can love
myself and my father at the same time..
“Kamu gak mau bicara sama Papa?” Itu pertanyaan yang selalu
Mama ucapkan setiap dua minggu sekali aku menelepon.
Aku selalu berusaha meluangkan waktuku untuk menelepon Mama,
walau hanya sekitar 20 menit. Mama selalu menawar agar aku bisa seminggu sekali
menelepon, tapi aku belum siap untuk berbicara banyak pada siapa pun, walau
kepada seseorang yang selama ini paling aku percaya.
“Belum waktunya, mungkin nanti.” Selalu itu jawaban yang
keluar dari mulutku. Sebenarnya aku ingin mengancam Mama dengan ancaman tak
akan menelepon lagi jikalau pertanyaan itu yang selalu ia lontarkan, tapi aku
tak ingin menyakiti perempuan yang sudah mengorbankan segalanya demi
kehidupanku lebih dalam lagi.
“Sejak sebulan yang lalu Papa selalu membereskan
perpustakaan milik kalian berdua, katanya supaya ada kerjaan di hari Minggu,
padahal Mama sadar bukan itu tujuannya.” Aku hanya mendengarkan Mama berbicara
melalu telepon di seberang sana.
Aku dan Papa memang mempunyai perpustakaan kecil di rumah, dulu
aku yang memintanya, dan Papa dengan bersemangat membuatkannya untukku. Mama
selalu menyebut perpustakaan kecil itu sebagai “Perpustakaan Milik Kalian
Berdua.” Kalian ditunjukkan kepadaku dan Papa, sebagai satu kesatuan. Di
keluarga kami memang hanya aku dan Papa yang selalu mengisi rak-rak di dalamnya
dengan koleksi buku-buku kami, Mama hanya menyumbang buku resep makanan dan
tutorial hijab miliknya, dan kedua adikku yang laki-laki hanya menyumbang
serial komik yang volumenya belum lengkap. Sementara aku dan Papa selalu
berusaha untuk mengisi rak-rak itu minimal dengan tiga buku baru dalam setiap
bulan.
“Papa rindu kamu, kak.” Ujar Mama dengan suara pelan, namun
terasa seperti petir yang menggelegar dalam dasar hatiku.
Aku mengira diriku kuat, aku mengira semua rasa cinta dalam
diriku sudah bertranformasi menjadi kebenciaan, atau setidaknya, aku mengira
diriku sudah tak bisa merasa sakit juga kecewa lagi, aku mengira aku sudah tak
lagi peduli, aku mengira... aku mengira...
Perkiraanku salah. Pilihan untuk kabur selama berbulan-bulan
ternyata tidak membuatku semakin tangguh, mungkin dalam pikiran dan perkiraanku
memang iya, namun nyatanya di dalam diriku masih tersungkur rapuh.
I wish I can hate a
person who biologically speaking should I love...
“Minta maaflah pada Papa, kak. Turunkan sedikit egomu.” Ujar
Mama saat aku tak merespon apapun.
“Suatu saat nanti, Ma. Saat aku sudah siap.” Jawabku
singkat. Kalimat itu pula yang menutup pembicaraanku dengan Mama saat itu. Aku beralibi
pada Mama akan menyelesaikan tugas-tugas yang menumpuk, padahal untuk
berkonsentrasi pun aku terlalu lelah. Tadinya aku ingin membicarakan hal itu,
namun memang lah seperti ini hidup berjalan, saat kau sedikit yakin untuk
membuka dirimu dan membiarkan orang lain menyentuh jiwamu, saat itu pula kau
tahu bahwa hanya dengan berfikiran kau bisa mempercayai orang lain saja sudah
kesalahan besar. Lagi-lagi, aku hanya bisa menyimpan segala penderitaanku
sendirian.
Aku sadar aku mengecawakan orang orang yang aku sayang, maka
sejak itu pula aku berhenti untuk menyayangi orang lain, kecuali diriku
sendiri. Mama benar, aku terlalu egois. Aku tak ingin merasakan sakit hanya karena
melihat pandangan terluka dari orang-orang yang aku sayang. Aku tak ingin
mengorbankan apa yang aku percayai dan hidup dengan segala hal yang
bertentangan dengan keinginanku hanya karena untuk membuat orang-orang yang aku
sayang bahagia. Sejak saat itu, saat aku merasa menyanyangi seseorang berarti
melukai diriku sendiri, aku berhenti peduli pada siapapun, dan aku pergi,
meninggalkan mereka yang sampai sekarang masih aku pedulikan, padahal aku sudah
bersusah payah untuk tidak peduli.
Ku kira hidup sendirian tanpa harus memikirkan perasaan
orang lain dan mengorbankan perasaanku sendiri adalah jauh lebih baik. Tapi nyatanya
aku menderita hidup dengan diriku sendiri. Ternyata aku bukan hanya kehilangan
orang-orang yang aku sayang, aku juga kehilangan tujuan hidupku, semangatku,
dan diriku sendiri. Aku sudah tak tahu lagi siapa yang hidup dalam tubuhku
sendiri.
“Papa tidak
membesarkanmu untuk menjadi seseorang seperti ini!” Aku masih ingat betul
pernyataan Papa tujuh bulan yang lalu.
“Seperti apa? Orang
yang selalu Papa anggap salah karena yang benar hanyalah diri Papa sendiri?”
Papa menjawab pertanyaank dengan tamparan di pipi sebelah kanan.
“Kenapa tidak Papa
bunuh atau usir saja aku dari hidup Papa? Aku terlalu mengecawakan, kan?” Suaraku
tertahan di kerongkongan saat itu karena menahan tangis.
“I don’t even want a
life like this!” Ujarku saat itu sambil berteriak. Aku tidak sadar saat itu
bahwa kata-kata yang keluar dari mulutku membawa panah yang melukai perasaan
Papaku sendiri.
“Kamu bukan lagi anak
permpuan yang selama 18 tahun hidup bersama Papa. Papa sudah tidak mengenal
anak Papa sendiri.” Ujar Papa saat itu, tanpa ekspresi atu intonasi marah. Tatapannya
kosong, dan suaranya parau. Tapi aku tahu, Papa sangat kecewa.
Aku tidak menangis saat hari kepergianku dari kota kecil
yang hampir 15 tahun menjadi tempat kenangan masa remajaku. Aku juga tidak
menangis karena harus berpisah dengan keluarga dan meninggalkan rumah. Aku pergi
dengan tidak merasakan apa-apa. Tidak sedih ataupun terluka, maupun bahagia
juga merasa bebas.
One thing I only knew,
myself already dead that time.
Namun akhirnya malam ini aku menangis. Hanya beberap butiran
air mata yang terasa, namun gabungan dari segala penderitaan yang sudah lama menyiksa.
Aku rindu, dengan keluargaku, dan dengan diriku sendiri.
“Mama sayang kaka.”
Aku seperti bisa mendengar suara mama dari ponsel di atas meja. Pernyataan yang
selalu terlontar dari mulut Mama setiap mengakhir pembicaraan.
Dan aku merasa diriku lebih mati mendengar ucapan itu. Aku hanya
akan menyakiti orang-orang yang sayang padaku. Aku hanya akan mengecawakan dan
membebani mereka.
Akhirnya aku memutuskan untuk mengganti sim card dan
memutuskan satu-satunya hubungan dengan keluargaku untuk sementara waktu (atau
mungkin selamanya). Bukan karena aku sudah tak lagi peduli pada mereka, aku
begitu menyayangi mereka hingga hanya rasa sakit yang tersisa.
“Air mata adalah bukti
betapa kau menyayangi seseorang, kak.” Dan di ruangan sunyi ini, aku bisa mendengar rekaman ulang suara Papa saat umurku 12 tahun, tepat
sehari setelah nenek meninggal dunia.
To Father,
Dad, I am fine. I am
writing this in the corner of my room, playing our song, and remembering our
moments.
How are you? Is mother
doing fine? How is my sister? Is she growing up become someone you expected
your daughter to be?
Father,
I’m sorry I can not
tell you this directly, but I just want you to understand, everything that
happened to me was not your fault.
Thank you for
introduced me about Sylvia Plath and Ernest Hemingway. Now I can learn more how
to in love with despair, how to enjoy the agony, and how to live in misery. You
are a really great father. You taught me right, it was just me who suck.
I will back very soon.
Just make a wish that I will be back not with my dead body. I am just kidding, Dad,
even I love Plath and Hemingway that much, I am not going to follow the way
their welcomed the death.
I know you still love
me with all of your heart, Dad.Because I also still do.